SURABAYA, PustakaJC.co - Pulau Jawa pernah mencatatkan sejarah sebagai eksportir gula terbesar kedua di dunia pada abad ke-19 Masehi. Pada masa itu, di Pulau Jawa banyak berdiri pabrik-pabrik gula salah satunya di Surabaya.
Pabrik gula banyak tersebar di Surabaya, salah satunya adalah pabrik gula Bagong yang jejaknya masih tersisa di Jalan Sumatra, Surabaya. Pabrik gula Bagong didirikan sekitar akhir tahun 1800-an.
"Salah satu yang catatan sejarahnya jelas itu Pabrik Gula Bagong. Didirikan oleh Notto Di Poero setelah mendapatkan konsesi pada 27 Februari 1832," ujar pegiat sejarah dari Begandring Soerabaia, Kuncarsono Prasetyo yang dimuat dari Detik.
Dikatakan oleh Kuncar, Pabrik Gula Bagong jadi satu-satunya pabrik gula yang dimiliki oleh orang pribumi. Bahkan kala itu, pabrik gula ini termasuk yang terbesar di Surabaya.
"Pabrik gula Bagong termasuk besar. Dulu area itu dekat perkebunan tebu Darmo dan daerah Gubeng, Kertajaya. Kelasnya sudah termasuk industri dan hasilnya diekspor ke berbagai wilayah," jelas Kuncar.
Pada masa itu, Pulau Jawa yang menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia karena adanya kebijakan tanam paksa. Kuncar menyebut karena itu pula, banyak bertumbuh pabrik-pabrik gula besar di Surabaya.
"Kisahnya tahun 1935 itu kan pemerintah mewajibkan tanam paksa untuk kebutuhan industri. Salah satu yang dipaksa ditanam adalah tebu, sehingga pabrik gula produksinya jadi besar-besar," ungkapnya.
Pabrik gula ini ini memproduksi gula pasir yang bahan bakunya berasal dari tebu. Tanaman ini di tanam di sekitar pabrik seperti wilayah Ngagel, Gubeng dan sekitarnya.
Saat itu, produksinya masih memakai alat tradisional yaitu tebu diperas menggunakan alat giliran berupa grinder berbahan logam yang diputar secara manual menggunakan tenaga sapi.
Setelahnya air perasan diproses sedemikian rupa sehingga menghasilkan butiran-butiran lembut berwarna putih dan mempunyai rasa yang manis. Nantinya para pemilik pabrik gula akan merasakan rasa manis tersebut.
“Jadi masyarakat yang tinggal di seputar wilayah tadi merupakan pekerja yang merawat tanaman tebu. Kemudian dibawa ke pabrik sebagai bahan pembuat gula,” kata sejarawan Nur Setiawan yang dimuat Radar Surabaya.
Pabrik gula tersebut mulai mengalami modernisasi memasuki awal abad 20 atau sekitar tahun 1900-an. Sehingga bisa menghasilkan produksi gula yang cukup banyak.
“Saat dulu masih menggunakan alat tradisional, namun di tahun 1900-an sudah menggunakan mesin-mesin industri,” tuturnya.
Tetapi karena perkembangan zaman, termasuk perkembangan wilayah perumahan banyak pabrik gula yang tutup. Begitupun dengan pabrik gula Bagong.
"Sejak dibangun kompleks perumahan sekitar tahun 1926 pabrik gula Bagong tutup. Perumahan itu dibangun di atas perkebunan tebu yang mengitari pabrik gula daerah Gubeng," pungkas Kuncar.
Kini pabrik gula di kawasan Surabaya hanya menjadi arsip sejarah. Beberapa pabrik gula telah dialihfungsikan.
Meskipun sudah lama tutup, namun bangunan pabrik gula Bagong masih bisa dilihat di kawasan Gubeng. Bangunannya masih terlihat utuh dan megah. Sayangnya bangunan tersebut dibiarkan kosong dan terbengkalai.
Halamannya ditumbuhi bangunan tanaman liar yang tumbuh tinggi. Namun bangunan bergaya colonial dengan cat putih tersebut menjadi saksi kejayaan industri gula di Surabaya kala itu. (int)