SURABAYA, PustakaJC.co - Di balik gemerlap Kota Malang, tersembunyi sebuah kawasan yang mengekalkan kenangan masa lalu, Kayutangan Heritage. Sebuah kawasan yang menjaga jejak arsitektur kolonial dan kisah-kisahnya yang berharga.
Rizal Fahmi, warga Kampung Kayutangan, duduk santai di beranda rumah gaya Jengki-nya yang berdiri sejak tahun 1963. Bangunan dengan dominasi garis vertikal dan horizontal tersebut menjadi representasi gaya arsitektur khas Indonesia zaman Belanda.
Ia juga menunjukkan Rumah Jacob, bangunan segitiga yang berdiri sejak tahun 1920, yang dulu ditempati oleh Bapak Jacoeb, seorang pelukis. Karya-karyanya masih terpajang di rumah itu.
Tak jauh dari sana, Rudi Haris atau akrab disapa Mbah Ndut berada di rumahnya yang telah berumur sekitar 100 tahun. Bangunan dengan atap pelana—mengingatkan kita pada bentuk tempat duduk kuda—merupakan ciri khas arsitektur Belanda.
"Atap pelana desainnya memastikan air cepat turun saat hujan, sehingga bangunan tetap kering," jelas Mbah Ndut.
Ide brilian untuk memanfaatkan kawasan ini sebagai destinasi wisata datang dari Wali Kota Malang Sutiaji. Dengan tidak adanya wisata alam di Malang, menghidupkan kembali sejarah dan bangunan heritage menjadi solusi cerdas untuk menarik wisatawan.
Dina, wisatawan asal Surabaya, terpesona dengan keseluruhan kawasan Kayutangan Heritage. "Kawasan ini memang sukses memanfaatkan sejarah dan heritage sebagai wisata lokal," kata Dina.
Selain bangunan bersejarah, dua makam yang menjadi saksi bisu sejarah juga menjadi daya tarik. Makam Mbah Honggo, pangeran dan guru spiritual keluarga bupati Malang pertama. Ada juga makam pangeran Soero Adimerto, semuanya menjadi bagian dari narasi sejarah kawasan ini.
Menjelajahi Kayutangan Heritage bukan hanya sekedar menikmati keindahan arsitektur, tetapi juga meresapi sejarah dan kisah yang terjalin di baliknya. Setiap sudutnya memiliki cerita, dan setiap cerita memberi warna pada kekayaan budaya Malang. (int)