SURABAYA, PustakaJC.co - Candi Cetho adalah salah satu candi yang diperkirakan dibangun pada masa kerajaan Majapahit yang terletak di lereng Gunung Lawu di atas ketinggian 1496 mdpl. Oleh sebab itu, orang-orang menyebut Candi Cetho sebagai candi di atas awan.
Selain lokasi yang anti mainstream dan pemandangannya yang indah, Candi Cetho ini juga memiliki sejarah yang panjang. Artikel ini akan membahas tentang sejarah dan fakta unik Candi Cetho yang perlu Anda ketahui.
Candi Cetho merupakan candi peninggalan kerajaan Majapahit yang dibangun pada tahun 1452-1470 Masehi. Diyakini candi ini dibangun ketika Prabu Brawijaya V (raja terakhir Majapahit) memimpin. Dikatakan bahwa pembangunan candi ini dilakukan ketika Majapahit mengalami kemunduran karena gejolak politik yang panas.
Candi yang berlokasi di Kabupaten Karanganyar ini dinamakan Candi Cetho yang artinya ‘jelas’. Hal tersebut kemudian dimaknai bahwa ketika seseorang berada di Candi Cetho maka pandangannya akan menjadi jelas karena bisa melihat seluruh penjuru dari ketinggian.
Bangunan Candi Cetho sendiri merupakan sebuah simbol toleransi beragama yang kuat pada masa Majapahit. Fungsi utama Candi Cetho pada masa lalu adalah sebagai tempat untuk menyucikan diri atau ruwat. Hal itu tercermin dalam tulisan Jawa Kuno yang berada di teras ketujuh atau yang disebut dengan Pendopo Ndalem.
Sampai saat ini, Candi yang berlokasi di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Karanganyar ini masih digunakan oleh masyarakat setempat yang memiliki kepercayaan Kejawen untuk melakukan pertapaan.
Candi Cetho kemudian ditemukan kembali pada tahun 1842 oleh seorang bernama Van de Villes. Setelahnya, kemudian dilakukan ekskavasi dan rekonstruksi candi yang terpendam pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala (Commissie voor Oudheid Dienst) Hindia Belanda.
Candi Cetho dikatakan memiliki kemiripan dengan Candi Sukuh yaitu terdiri dari punden berundak. Lokasinya memanjang dari barat ke timur dan saat ini tersisa hanya 13 teras, sedangkan yang berhasil direnovasi hanya berjumlah 9 teras. Antara satu teras dengan teras yang lainnya dihubungkan oleh sejumlah pintu dan jalan setapak yang membagi halaman menjadi dua bagian.
Masing-masing teras memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dengan yang lainnya. Pada teras pertama, memiliki bangunan dengan pondasi setinggi 2 meter dan tidak memiliki dinding. Bangunan ini biasanya dipakai untuk meletakkan sesajen.
Pada teras ketujuh, terdapat sebuah tatanan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, yang diduga sebagai lambang Surya Majapahit.
Tumpukan teras-teras yang berada di Candi Cetho ini berpuncak di teras ke 11 yang terdapat bangunan induk dari Candi Cetho. Bangunan ini merupakan ruang utama dan tempat pesanggrahan Prabu Brawijaya V yang memiliki letak lebih tinggi dibanding ruangan yang lain.
Terletak di ketinggian 1946 mdpl, Candi Cetho dikategorikan sebagai candi tertinggi ketiga di Indonesia. Candi ini juga memiliki bangunan yang indah dan pemandangan yang menyejukkan mata. Selain itu, lokasinya yang berada di lereng Gunung Lawu membuat tempat ini memiliki udara yang sejuk.
Kompleks Candi Cetho selain masih digunakan masyarakat untuk beribadah, juga sekarang ramai dikunjungi oleh para wisatawan. Hal ini karena di Candi Cetho banyak sekali spot foto yang sayang untuk dilewatkan karena memadukan dua unsur, yaitu sejarah dan alam yang indah. (int)