Wisata

Gapura Jombang, Pintu Gerbang Kerajaan Majapahit

Gapura Jombang, Pintu Gerbang Kerajaan Majapahit
dok inside

SURABAYA, PustakaJC.co - Para ahli sejarah meyakini bahwa pusat Kerajaan Majapahit berada di Mojokerto, tepatnya di Kecamatan Trowulan. Tetapi pada masa kejayaannya, luas Majapahit dipercaya mencangkup sebagian tanah Jawa.

 

Saking luasnya wilayah kerajaan, sampai-sampai gerbang masuk ke Majapahit ternyata tidak berada di Mojokerto. Gapura menuju ke Majapahit itu ternyata berada di daerah sebelah Mojokerto yang tepatnya di Kabupaten Jombang.

 

“Pada masa Kerajaan Majapahit, wilayah Kabupaten Jombang masa kini merupakan gerbang Majapahit,” tulis catatan Wikipedia.

 

Ada dua gerbang Majapahit yang berada di Jombang, yakni gapura barat dan selatan. Gapura barat adalah Desa Tunggorono Kecamatan/Kabupaten Jombang. Sementara gapura selatan berada di Desa Ngrimbi Kecamatan Bareng.

 

“Salah satu peninggalan Majapahit di Jombang adalah Candi Arimbi di Kecamatan Bareng,” tulisnya.

 

Karena itu tak heran di wilayah Jombang banyak ditemukan nama-nama desa dan kecamatan yang menggunakan prefiks Mojo, misalnya Mojosongo dan Mojounggul. Hal ini menjadi tanda kekuasaan Majapahit.

 

“Mojoagung dan Mojowarno, Mojojejer, Mojotengah, Mojotrisno, Mojongapit, Mojokuripan, dan sebagainya,” ungkapnya.

 

Bahkan dalam lambang daerah Jombang, dilukiskan sebuah gerbang. Hal ini dimaksudkan sebagai gerbang Majapahit di mana Jombang merupakan wewenangnya. Sehingga tidak melupakan sejarahnya.

 

Selain itu catatan Majalah Intisari pada bulan Mei 1975 dituliskan sebuah laporan Bupati Mojokerto Raden Adipati Ario Kromodjojo kepada Residen Jombang tanggal 25 Januari 1898 tentang keadaan Trowulan.

 

Sehingga kegiatan pemerintahan di Jombang sebenarnya bukan dimulai sejak berdirinya Kabupaten Jombang kira-kira 1910. Tetapi sejak tahun 1880, di mana Trowulan telah menjadi onderdistrict afdeeling Jombang.

 

“Walaupun saat itu masih terjalin menjadi satu kabupaten dengan Mojokerto,” tulisnya.

 

Tetapi setelah Majapahit kehilangan pengaruhnya, kawasan Jombang mulai menjadi bagian dari kerajaan-kerajaan Islam. Hingga akhirnya wilayah Jombang menjadi cikal bakal pesantren yang ada di Indonesia.

 

Pada 1811, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Kabupaten Mojokerto, Jombang menjadi salah satu residennya, bersama dengan Trowulan yang menjadi kawedanan. Kemudian pada 1910, Jombang memperoleh status menjadi Kabupaten.

 

Julukan Jombang menjadi kota santri karena pusat pendidikan pesantren di Tanah Jawa. Hampir seluruh pendiri pesantren di Jawa mengenyam pendidikan di sana, seperti Tebuireng, Bahrul Ulum Tambakberas, Mamba’ul Ma’arif, dan Darul Ulum.

 

Banyak tokoh nasional yang dilahirkan di Kabupaten Jombang. di antaranya Abdurrahman Wahid, KH Hasyim Asy’ari, Nurcholis Madjid, Emha Ainun Najib, Cucuk Espe hingga tokoh Partai Komunis Indonesia, Semaun. (int)

 

Balai Pemuda, Tempat Gaul Para Elite Kolonial di Surabaya

SURABAYA, PustakaJC.co - Balai Pemuda, di Jalan Gubernur Suryo Nomor 15 memiliki sejarah penting bagi masyarakat Surabaya. Balai ini kini digunakan untuk berbagai aktivitas seperti menjadi ruang kreativitas budaya bagi warga.

 

Balai Pemuda dirancang dengan gaya Neo Renaissance oleh arsitek Belanda J.J van der Mey. Bangunan ini merupakan gedung pertama di Surabaya yang dibangun dengan struktur rangka baja yang merupakan teknologi baru.

 

Dinukil dari Liputan6, Balai Pemuda ini ketika masa penjajahan Belanda sempat dikenal dengan nama Simpang Club atau Simpangsche Societeit. Bangunan monumental ini dibangun pada 1907.

 

“Simpang Club menjadi tempat orang-orang Belanda atau Eropa lainnya untuk bersenang-senang,” tulis laman tersebut.

 

Dinukil dari buku Surabaya: Di mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu? Karya Ady Setyawan mencatat Simpang Club dikenal sebagai tempat eksekutif dan mewah bagi warga Belanda dan tamu Eropa lainnya.

 

“Belanda dan tamu Eropa lainnya. Mereka yang gemar bermain tenis, billiard, dansa atau bermain kartu akan berkumpul di Simpang Club,” tulisnya.

 

Di halaman terdapat dua papan hitam dengan tulisan cat putih bertuliskan kalimat yang senada Verboden voor inlander en hond!. Bila diartikan dalam bahasa Indonesia bisa berarti “Dilarang masuk bagi pribumi dan anjing.

 

Tulisan dalam papan ini disebut sangat merendahkan, diskriminatif dan sangat rasialis. Walau demikian, tulisan pada papan plakat ini juga mendapatkan tentangan dari masyarakat Belanda di Surabaya saa itu.

 

“Suatu kekuasaan yang didalamnya mengandung ketegangan rasisme. Satu simbol yang jelas dari mentalitas ini adalah Simpang Club adalah sebuah eksklusif kaum mapan Belanda yang didirikan 1887 dan kemudian dijadikan landasan didirikannya Vaderlandsche Club. Organisasi Belanda yang terang-terangan rasis dan bersifat ultranasionalis,” tulisnya.

 

Setelah dikuasai Jepang, pada pemuda Surabaya merebut gedung ini pada tahun 1945 yang tergabung dalam PRI atau Pemuda Republik Indonesia. Mereka membuat markas di dalam gedung itu.

 

Tetapi karena perlawanan sengit dari Belanda, akhirnya gedung itu kembali dikuasai oleh penjajah. Tahun 1950, saat Indonesia mereka, Gedung Pemuda direbut kembali oleh penguasa militer.

 

Pada 1957, banyak yang terjadi di kancah politik nasional. Salah satunya upaya melakukan pembebasan Irian Barat dan beberapa hal. Karena itulah pada tahun itu gedung ini berubah nama menjadi Balai Pemuda Surabaya.

 

Tempat ini memiliki fungsi sebagai sekretariat sekaligus markas Front Pemuda. Dan pada Orde Baru digunakan sebagai Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia atau disingkat KAMI juga KAPPI untuk menumpas G30S/PKI. (int)

Baca Juga : Jokowi Tinjau Hotel Nusantara di IKN
Bagikan :