Embun di Prambanan
matahari menari di celah pahatan
mengungkap rahasia siluet tubuhmu, lekuklekuk gairah
semampai langkah menapaki undakan tahta
pada relief, persetubuhan kita terpahat
tanpa batas istirah.
Batubatu terhampar di pelataran
bukanlah reruntuhan, ialah jejak hidup, ialah hurufhuruf
terurai dari kalimat takjub yang tak ada habisnya
bongkahan prasasti yang akan selalu kautemukan di hatiku
walau seribu tahun terkubur abu merapi.
Permaisuri,
kuagungkan dirimu dalam sebuah arca dewi
seluruh kerajaan hatiku kunobatkan hanya untukmu
satu candi adalah persembahan, seribu candi
kasih yang abadi.
“Cinta memang butuh bukti, bukan sekedar janji”. Kata-kata inilah yang mungkin saat itu terbersit di benak Bandung Bondowoso, seorang pangeran dari Pengging yang terkenal kesaktiannya.
Tepatnya, saat ‘gayung tak segera bersambut’ setelah ia mengutarakan isi hatinya pada seorang putri raja yang cantik jelita, Roro Jonggrang. Tentu kita semua bisa membaca isi hati Roro Jonggrang di balik penolakan cintanya kepada Bandung Bondowoso. Ya, apalagi alasannya kalau bukan karena seorang pangeran yang gagah perkasa itu ternyata adalah laki-laki yang telah membunuh ayahnya, Prabu Boko. Alasan itulah yang kemudian mendorongnya untuk menolak cinta Bandung Bondowoso secara halus, menerima cintanya tetapi dengan dua syarat: sumur raksasa Jalatunda dan seribu candi dalam waktu semalam!