Petrik Matanasi dalam artikel berjudul Digoel, Tempat Buangan Para Pembangkang yang dimuat Tirto menulis di kamp ini lalu dibangun beragam fasilitas seperti sekolah untuk anak-anak orang buangan, selain lapangan bola, toko, dan bahkan masjid.
Masjid dibangun karena banyak juga orang Islam yang terlibat dalam pemberontakan. Sebagian orang buangan kemudian juga berusaha bertani, meski tanahnya tidak sesubur Jawa. Ada yang menanam pepaya dan pisang.
Pemerintah kolonial kemudian memberi jatah bahan makanan kepada orang buangan, termasuk mereka yang tidak mau bekerja untuk pemerintah kolonial. Tahanan ini dijatah beras 18 kg, 1 kg kacang hijau, 2 kg ikan asin, juga teh dan garam.
Namun beragam fasilitas ini tidak membuat Digoel menjadi lebih baik, salah satu yang merasakan dampaknya adalah Hatta. Mavis Rose dalam buku Biografi Politik Mohammad Hatta menyebut suasana Digoel membuat Hatta yang biasanya tenang dan sabar menjadi mudah marah dan pelupa.