“Jalan menuju kawasan itu dilukiskan sebagai jalan yang lebar, dengan tanah yang sudah diolah disekitarnya dan dihiasi dengan pohon-pohon kopi,”
Pada pusat kota terdapat Sungai Brantas yang indah, terdapat juga pesanggrahan dan blok-blok rumah, lapangan persegi empat dan pohon beringin di tengahnya, dihiasi dengan rumah bupati, Asisten Residen Wierehold dan Hofland.
Sedangkan wilayah Gondanglegi yang terbentang hingga ke laut masih didominasi tanah berbatu kapur dan tidak berpenduduk. Terdapat barisan pegunungan panjang Lodong yang membentang hingga Mahameru (Semeru), seluruhnya belum berpenghuni dan masih sangat alami.
Franz Wilhelm Junghuhn pada catatan perjalanannya mengunjungi kawasan Malang pada tahun 1844 menyebutkan bahwa di jalan antara Pasuruan, Lawang, Malang hingga Lumajang masih dikelilingi hutan rimba, dan terdapat banyak hewan buas.
“Hanya ada beberapa perkebunan yang telah dikelola oleh orang Belanda. Penyebutan Kota Malang sebagai “desa yang ramai”, kemungkinan ini bersumber dari perbedaan pemahaman tentang kota antara orang Eropa dan orang Jawa,” tulis Ariyana Abubakar dan kawan-kawan dalam buku Dari Rimba Menjadi Kota: Bank Indonesia Dalam Revolusi Malang Raya.