Saat itu Junghuhn melihat letusan Gunung Semeru pada pagi dan sore hari. Suaranya terdengar menderu meraung-raung dan terlihat dari jauh, kolom asap putih kekuningan akibat sinar matahari sore di atas sudut kanan puncak Mahameru.
"Saat matahari bersinar, kerucut Gunung Semeru terlihat muncul di atas hutan dengan warna kemerahan. Cahaya yang bersinar, berubah sangat cepat menjadi abu-abu kusam, setelah gunung bergejolak," tulisnya
Catatan lain juga ditulis oleh Cut Dwi Septiasari dalam buku Soe Hok Gie: Sekali Lagi (2009), yang merekam letusan Gunung Semeru. Sejak tahun 1967 aktivitas Gunung Semeru terus bekerja meletuskan abu dan lava.
“Pada letusan biasa, sebuah tiang asap membumbung dengan bergulung-gulung berupa ‘bom’ dan abu mencapai ketinggian 300-600 m, di atas kawah dengan interval letusan 15-30 menit. Pada tahun 1968, pertumbuhan kubah lava terus berlangsung. Terjadi banjir lahar yang membawa korban tiga orang penduduk Desa Sumber Wungkil. Juga pada tahun 1977, terjadi lagi guguran lava yang menghasilkan awan panas, ‘menyerang’ dan menghancurkan beberapa desa," sebutnya.