Tokoh

Abnar Romli

Santri Tebuireng, Sastrawan Lesbumi, Novelis yang Dicekal Orba

Santri Tebuireng, Sastrawan Lesbumi, Novelis yang Dicekal Orba
M. Abnar Romli, santri jebolan Tebuireng. (dok mubi.com)

SURABAYA, PustakaJC.co - Namanya tak sepopuler Pramoedya, tapi perjuangannya tak kalah tajam. M. Abnar Romli, santri jebolan Tebuireng, adalah sastrawan Lesbumi yang karyanya dicekal rezim Orde Baru. Dari pesantren ke dunia film, Abnar menulis sejarah dengan caranya sendiri.

 

Muhammad Abu Nawar Romli atau M. Abnar Romli lahir di Pakembaran, Slawi, Tegal, 13 Maret 1943. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan dongeng dan cerita rakyat yang diceritakan sang ibu. Cita-citanya saat itu sederhana namun besar: ingin menjadi penulis dan sutradara film. Dilansir dari nu.or.id Kamis, (17/4/2025).

 

Namun sang ayah, seorang penghulu agama, menginginkan putranya menjadi kiai. Maka pada 1960, setelah sempat sekolah di PGA Slawi, Abnar dikirim ke Pesantren Tebuireng, lalu melanjutkan ke Pesantren Seblak, Jombang, di bawah asuhan Kiai Bisri Syansuri. Di sela-sela waktu ngaji dan mondok, ia terus menulis. Dunia tulis-menulis tak pernah lepas dari hidupnya.

Bakat sastranya meledak ketika cerpen “Penjual Kapas” dimuat di majalah Horison edisi Februari 1967. Cerpen itu membuat namanya sejajar dengan para sastrawan besar seperti Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardoyo, dan Taufiq Ismail. Cerpen tersebut bahkan meraih Hadiah Horison 1966–1967.

 

Namun nama Abnar benar-benar mencuat ketika novelnya yang berjudul “Orang-Orang yang Terhormat” (OYT) dicekal oleh Kejaksaan Agung pada 9 Oktober 1974, berdasarkan SK No. 007/E-2/10/1974. Alasannya, isi novel dianggap bertentangan dengan TAP MPR No. IV/MPR/1973. Pengumuman pelarangan itu bahkan pertama kali muncul dari Kantor Penerangan Sumbawa.

 

“Kasus pelarangan buku saya itu nyaris sama dengan pelarangan terhadap film Romusha. Sebab temanya sama-sama mengangkat epos perjuangan.” kata Abnar

 

Ia menambahkan, “Tampaknya Kejaksaan lebih tergelitik oleh beberapa kalimat. Kalimat itu mungkin dianggap berbau politis. Tapi mereka tak pernah menjelaskan kalimat yang mana.”

             

Sastrawan Ajip Rosidi yang ikut membaca novel tersebut mengakui memang ada bagian yang “bombastis” di halaman 41–42, tapi menurutnya tidak mengganggu keseluruhan isi cerita. HB Jassin bahkan mengaku kaget dengan keputusan Kejaksaan. Banyak kalangan menilai, pelarangan ini terlalu berlebihan.

 

Sebagai kader aktif Lesbumi NU, Abnar dikenal kritis dan produktif. Ia menulis naskah-naskah drama religi dan tampil di TVRI lewat kelompok Teater Pembina. Tahun 1970, ia pindah ke Jakarta dan terjun ke industri film. Awalnya sebagai juru catat adegan di PT Agora Film, lalu menjadi asisten sutradara, hingga akhirnya dipercaya sebagai sutradara utama.

Debut filmnya berjudul “Dimadu” (1974), dengan skenario yang ditulisnya sendiri. Sukses besar. Setelah itu, Abnar dikenal sebagai sutradara spesialis film kolosal dan drama laga. Beberapa film terkenalnya antara lain:

  • Misteri Gunung Merapi
  • Legenda Mahkota Majapahit
  • Mayat Hidup
  • Pancasona
  • Prahara Prabu Siliwangi

 

Karya-karya itu tak hanya digemari penonton, tapi juga menjadi ruang ekspresi budaya dan sejarah dalam bentuk visual.

 

M. Abnar Romli adalah cermin keberanian kaum santri yang melawan lewat pena dan kamera. Ia tak menentang dengan senjata, tapi dengan cerita. Karyanya sempat dibungkam, tapi suaranya tak pernah padam. Dari pesantren, Lesbumi, hingga layar bioskop, Abnar Romli adalah bukti bahwa ekspresi tak bisa dibunuh. (Ivan)

 

 

 

Baca Juga : Pemikiran, Diplomasi, dan Warisan bagi Nusantara
Bagikan :