Oleh: Ivan Febriyanto
Bagaimana seharusnya seorang ulama menghadapi perubahan zaman? Apa yang membuat K.H. Abdul Wahid Hasyim begitu berpengaruh dalam sejarah Islam di Nusantara? Dan mengapa perjalanan hidup beliau begitu relevan bagi kita hari ini?
SURABAYA, PustakaJC.co - Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara karya Aguk Irawan, M.N. bukan sekadar biografi biasa. Ini adalah sebuah perjalanan intelektual, spiritual, dan sosial yang menyingkap jejak seorang ulama besar, pemikir progresif, dan negarawan sejati yang perannya kerap terlupakan dalam sejarah Indonesia.
Aguk menuliskannya dengan gaya yang khas: mengalir, penuh detail sejarah, dan kaya akan dialog yang hidup. Pembaca tidak hanya diajak untuk memahami pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim, tetapi juga untuk merasakan dinamika zaman yang beliau hadapi.
Salah satu bagian paling menarik dari buku ini adalah perjalanan K.H. Abdul Wahid Hasyim ke Tanah Suci. Di sana, beliau menyaksikan langsung bagaimana dinamika keagamaan berubah drastis di bawah pengaruh Wahabi. Dalam percakapannya dengan Ilyas, beliau melontarkan kegelisahan yang tajam:
“Aku mengkhawatirkan keadaan kita di Tanah Air, Kangmas. Jika paham ini menyebar hingga ke sana, apa jadinya masa depan umat Islam di negeri kita?”
Ilyas menjawab dengan nada tegas, “Fakta bahwa ajaran Wahabi sudah masuk ke negeri kita tak bisa dibantah. Tapi kita punya para ulama, kita punya pesantren. Kita tidak akan diam.”
Bagian ini menggambarkan bagaimana seorang ulama muda melihat ancaman ideologis yang bisa mengubah wajah Islam Nusantara. Aguk dengan cerdas menyusun narasi yang tidak hanya menyampaikan sejarah, tetapi juga memperlihatkan pertarungan pemikiran yang berlangsung hingga hari ini.
Dalam sebuah diskusi, Aguk menjelaskan,
“Saya ingin pembaca memahami bahwa Islam Nusantara bukan sekadar istilah. Ini adalah hasil pergulatan panjang antara pemikiran, tradisi, dan tantangan zaman. K.H. Abdul Wahid Hasyim adalah salah satu pelopor yang berjuang menjaga keseimbangan itu.”
Kepulangan K.H. Abdul Wahid Hasyim ke Tebuireng membawa banyak perubahan. Salah satu peristiwa yang menarik adalah ketika beliau memilih mengenakan celana panjang saat sholat.
Seorang santri dengan nada ragu bertanya, “Gus, apakah memakai celana dalam sholat itu diperbolehkan?”
K.H. Abdul Wahid Hasyim tersenyum, lalu menjawab, “Kenapa tidak?”
Santri itu masih tampak bingung. “Tapi bukankah kita selalu memakai sarung?”
Dengan nada tenang namun penuh keyakinan, beliau menjelaskan, “Di banyak negara Muslim lain, kaum Muslimin sholat dengan celana panjang. Bahkan di Makkah, aku melihat sendiri betapa beragamnya cara berpakaian mereka. Yang penting adalah menutup aurat dan menjaga kesopanan. Islam itu luas, tidak sempit.”
Percakapan ini menggambarkan pemikiran progresif K.H. Abdul Wahid Hasyim. Beliau tidak terjebak pada simbolisme, tetapi melihat esensi dari ajaran agama. Ini adalah potret seorang ulama yang berpikir jauh ke depan, yang tidak hanya memahami syariat, tetapi juga konteks sosial di sekitarnya.
Aguk dalam wawancaranya pernah mengatakan,
“Saya ingin menampilkan K.H. Abdul Wahid Hasyim sebagai sosok yang mampu menjembatani Islam tradisional dengan modernitas tanpa kehilangan identitasnya. Celana panjang dalam sholat hanyalah satu contoh kecil dari keberanian beliau dalam berpikir.”
Buku ini juga menyoroti peran K.H. Abdul Wahid Hasyim dalam membangun ekonomi umat. Saat kembali ke kampung halamannya, beliau mendapati para petani telah berubah menjadi pedagang.
K.H. Abdul Wahid Hasyim bertanya dengan penuh rasa ingin tahu: “Benarkah sekarang banyak yang berdagang?”
Pak Lurah menjawab dengan bangga: “Iya, Gus. Mereka tak hanya menjual hasil panen sendiri, tapi juga dari kampung sebelah. Mereka mulai belajar bagaimana berdagang dengan baik.”
Seketika, beliau tersenyum puas. Beliau memahami bahwa kemajuan ekonomi adalah bagian dari dakwah. Bagi beliau, Islam bukan hanya soal ibadah ritual, tetapi juga kesejahteraan umat.
Di bagian ini, Aguk menunjukkan bahwa perjuangan K.H. Abdul Wahid Hasyim tidak hanya di ranah pemikiran, tetapi juga aksi nyata. Beliau tidak hanya berbicara soal tauhid dan fiqh, tetapi juga bagaimana umat Islam bisa mandiri secara ekonomi.
Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara membuka mata kita bahwa Islam di Indonesia telah berkembang dengan karakteristiknya sendiri Islam yang lembut, penuh hikmah, dan selalu mencari keseimbangan antara tradisi dan modernitas.
K.H. Abdul Wahid Hasyim adalah contoh nyata bahwa seorang ulama tidak hanya berperan dalam keagamaan, tetapi juga dalam politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Beliau memahami bahwa perubahan zaman tidak bisa dihindari, tetapi bisa diarahkan dengan kebijaksanaan.
Aguk menutup bukunya dengan kuat, seolah mengingatkan kita bahwa perjuangan belum selesai. K.H. Abdul Wahid Hasyim telah melakukan bagiannya, dan kini giliran kita. Islam Nusantara bukan sekadar istilah, melainkan sebuah warisan besar yang harus dijaga dan dikembangkan.
Buku ini adalah bacaan wajib bagi siapa saja yang ingin memahami bagaimana Islam berkembang di Nusantara. Bukan hanya bagi kalangan pesantren, tetapi juga bagi mereka yang ingin melihat bagaimana seorang ulama bisa menjadi pemikir, reformis, dan negarawan dalam satu waktu.
Pemikiran dan perjuangan K.H. Abdul Wahid Hasyim telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah Islam di Indonesia. Kini, giliran kita untuk melanjutkannya.