Oleh: Ivan Febriyanto
SURABAYA, PustakaJC.co - Bagaimana mungkin sebuah perjuangan yang begitu besar, dengan lika-liku yang menegangkan, dapat terangkum dalam sebuah buku? Aguk Irawan, M.N. dalam Sang Mujtahid Islam Nusantara mencoba menjawab pertanyaan ini dengan menyajikan kisah K.H. Abdul Wahid Hasyim, seorang ulama besar yang juga negarawan visioner, dalam bingkai yang memikat, detail, dan penuh refleksi sejarah.
Buku ini bukan sekadar biografi, melainkan juga sebuah cerminan dari perjuangan panjang seorang pemikir Islam yang turut menentukan arah bangsa. Dalam kepungan kolonialisme dan pendudukan Jepang, Kiai Wahid bukan hanya seorang saksi sejarah beliau adalah penggerak yang melawan dengan pemikiran tajam dan strategi yang matang. Seberapa banyak dari kita yang menyadari bahwa sosok muda ini, dengan keteguhan hati, turut merumuskan dasar negara Indonesia?
Aguk Irawan, dengan gaya naratifnya yang khas, membawa kita ke dalam sidang-sidang bersejarah, di mana Kiai Wahid berdebat, berjuang, dan mengukir gagasan dalam rapat-rapat BPUPKI dan Panitia Sembilan. Bayangkan bagaimana seorang ulama muda, di tengah dominasi pemikir nasionalis, tetap teguh menyuarakan Islam sebagai dasar negara! Dengan penuh ketegasan, beliau mengatakan, “Kita harus memperjuangkan Islam sebagai dasar negara kita!” Sebuah kalimat yang mengguncang sidang dan menggugah kesadaran.
Dalam sebuah percakapan yang berlangsung penuh ketegangan, Soekarno bertanya, “Kiai Wahid, bagaimana panjenengan melihat perbedaan yang ada? Bukankah kita harus mencari titik temu agar persatuan tetap terjaga?”
Kiai Wahid menatap sekeliling, menyusun kata-kata dengan hati-hati sebelum menjawab dengan suara tegas, “Bung Karno, persatuan adalah hal yang kita dambakan, tetapi persatuan yang sejati adalah yang berakar pada prinsip dan keyakinan. Islam telah lama menjadi ruh Nusantara, dan tidak seharusnya kita mengabaikannya hanya demi kompromi politik yang bisa melemahkan identitas bangsa. Saya bukan menolak persatuan, tetapi saya ingin memastikan bahwa persatuan ini memiliki fondasi yang kuat. Jika kita hanya berkompromi tanpa mempertahankan prinsip, maka persatuan itu akan rapuh dan mudah goyah.”
Ruangan itu sunyi sesaat. Para peserta rapat saling berpandangan. Perdebatan mulai muncul, beberapa mengangguk setuju, sementara yang lain tampak ragu. Mohammad Hatta akhirnya angkat bicara, “Kita harus mencari solusi agar semua pihak dapat menerima tanpa merasa dirugikan. Apa usulan konkret dari panjenengan, Kiai Wahid?”
Dengan mantap, beliau menjawab, “Jika dasar negara ini mencerminkan Islam sebagai agama mayoritas, tetapi tetap memberikan kebebasan kepada pemeluk agama lain, itu adalah bentuk keseimbangan yang hakiki. Kita bisa mengakomodasi nilai-nilai Islam tanpa meniadakan hak-hak lainnya. Islam bukan ancaman, Islam adalah rahmat bagi semesta. Ini bukan sekadar kepentingan satu golongan, tetapi keseimbangan bagi semua.”
Namun, perjuangan ini tidak selalu berjalan mulus. Terdapat pertarungan ideologis yang pelik. Penolakan datang dari berbagai pihak, terutama dalam perumusan sila pertama Pancasila. Bagaimana mungkin prinsip Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya yang telah disepakati dalam Piagam Jakarta kemudian harus diubah? Kekecewaan, harapan, dan kompromi politik berpadu dalam momen-momen yang menentukan.
Perdebatan berlanjut hingga hari-hari berikutnya. Sebuah diskusi sengit antara para pemimpin terjadi di ruangan yang dipenuhi ketegangan. Seorang anggota nasionalis berkata, “Jika kita mempertahankan kalimat ini, ada kekhawatiran dari saudara-saudara kita yang beragama lain. Apakah ini benar-benar langkah yang bijak?”
Kiai Wahid menatap dalam, kemudian dengan tenang menjawab, “Saya memahami kekhawatiran tersebut. Tetapi, perlu kita ingat bahwa bangsa ini besar karena Islam telah mengakar begitu dalam di masyarakat. Kita hanya ingin menegaskan bahwa syariat Islam berlaku bagi pemeluknya, bukan untuk memaksakan hukum kepada yang lain. Jika kita meniadakan hal ini, bukankah kita justru mengabaikan fakta sejarah dan realitas sosial kita sendiri?”
Kalimat yang dipertahankan dan menjadi perdebatan di sidang BPUPKI adalah “Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta.
Kalimat ini mencerminkan aspirasi para ulama dan tokoh Islam, termasuk Kiai Wahid Hasyim, untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara tanpa mengabaikan kebebasan beragama bagi pemeluk lain. Namun, frasa ini kemudian mendapat tentangan, terutama dari perwakilan Indonesia Timur yang mayoritas non-Muslim. Akhirnya, dalam kompromi politik yang berlangsung pada 18 Agustus 1945, kalimat tersebut diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” agar lebih inklusif dan diterima oleh seluruh elemen bangsa.
Kiai Wahid Hasyim sendiri terlibat dalam diskusi intens terkait hal ini, berusaha mempertahankan prinsip Islam sambil memahami pentingnya menjaga persatuan nasional.
Aguk Irawan menyoroti dilema ini dengan berkata, “Seorang pemimpin sejati adalah yang mampu menyeimbangkan idealisme dan realitas. Kiai Wahid adalah contoh bagaimana seseorang tetap berpegang pada prinsipnya, tetapi juga peka terhadap kondisi sekitarnya.”
Buku ini juga memperlihatkan sisi lain Kiai Wahid Hasyim seorang yang tidak hanya berpikir dalam kerangka keagamaan, tetapi juga seorang pemimpin yang paham akan realitas politik. Beliau tidak kaku dalam bernegosiasi, tidak pula kehilangan arah dalam idealismenya. Aguk meramu kisah ini dengan cerdas, menghadirkan tokoh-tokoh besar dalam konteks yang lebih manusiawi dan penuh gejolak.
Sebuah bacaan wajib bagi siapa saja yang ingin memahami lebih dalam tentang peran ulama dalam membangun negeri. Sebuah buku yang bukan hanya layak dibaca, tetapi juga direnungkan dan dijadikan inspirasi.