Dengan mantap, beliau menjawab, “Jika dasar negara ini mencerminkan Islam sebagai agama mayoritas, tetapi tetap memberikan kebebasan kepada pemeluk agama lain, itu adalah bentuk keseimbangan yang hakiki. Kita bisa mengakomodasi nilai-nilai Islam tanpa meniadakan hak-hak lainnya. Islam bukan ancaman, Islam adalah rahmat bagi semesta. Ini bukan sekadar kepentingan satu golongan, tetapi keseimbangan bagi semua.”
Namun, perjuangan ini tidak selalu berjalan mulus. Terdapat pertarungan ideologis yang pelik. Penolakan datang dari berbagai pihak, terutama dalam perumusan sila pertama Pancasila. Bagaimana mungkin prinsip Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya yang telah disepakati dalam Piagam Jakarta kemudian harus diubah? Kekecewaan, harapan, dan kompromi politik berpadu dalam momen-momen yang menentukan.
Perdebatan berlanjut hingga hari-hari berikutnya. Sebuah diskusi sengit antara para pemimpin terjadi di ruangan yang dipenuhi ketegangan. Seorang anggota nasionalis berkata, “Jika kita mempertahankan kalimat ini, ada kekhawatiran dari saudara-saudara kita yang beragama lain. Apakah ini benar-benar langkah yang bijak?”