Oleh: Ivan Febriyanto
SURABAYA, PustakaJC.co – Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara adalah karya dari Aguk Irawan MN, seorang penulis yang dikenal dengan gaya naratifnya yang kuat dan penelitiannya yang mendalam terhadap tokoh-tokoh Islam Nusantara. Dalam buku ini, Aguk tidak sekadar menulis biografi, tetapi juga merajut sejarah, nilai-nilai perjuangan, dan esensi kepemimpinan K.H. Abdul Wahid Hasyim sebagai seorang ulama, intelektual, dan negarawan.
Tahun 1932, pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya di Jombang. Embun masih menempel di daun-daun tebu, dan semilir angin membawa kesejukan yang menggigit. Di dalam pesantren Tebuireng, Kiai Hasyim Asy’ari duduk bersila di atas sajadahnya. Pandangannya lembut, tetapi penuh wibawa. Di hadapannya, Abdul Wahid Hasyim, putranya yang baru berusia 18 tahun, bersimpuh dengan penuh takzim. Hari itu, sebuah perjalanan besar akan dimulai.
“Wahid, perjalananmu ini bukan sekadar mencari ilmu. Ini adalah amanah. Kau harus membawa pulang cahaya bagi umat.” Ujar Kiai Hasyim dengan penuh keyakinan.
Wahid menundukkan kepala, menyerap setiap kata ayahnya. “InsyaAllah, Abah. Saya akan belajar sebanyak mungkin agar kelak bisa mengabdi untuk agama dan bangsa.” Ucapnya dengan penuh tekad.
Hari itu, Wahid dan sepupunya, Kiai Ilyas, berangkat menuju pelabuhan Perak, Surabaya. Kapal Tjuk Nyak Dien yang akan mereka tumpangi telah bersiap. Keluarga dan para santri mengantar dengan haru. Saat kapal mulai menjauh, Wahid melambaikan tangan untuk terakhir kalinya. Di hatinya, ada doa dan harapan besar.
“Ilyas, apakah kau merasa perjalanan ini lebih dari sekadar menuntut ilmu?” Wahid bertanya sambil menatap laut luas.
Ilyas tersenyum. “Aku tahu, Wahid. Kita pergi bukan hanya untuk belajar, tapi juga untuk masa depan negeri kita.”
Perjalanan laut menuju Jeddah memakan waktu 30 hari. Ombak besar, badai yang mengguncang kapal, dan ketidakpastian menjadi bagian dari ujian. Namun, mereka tetap teguh. Ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi perjalanan batin menuju ilmu dan kebijaksanaan.
Ketika akhirnya tiba di Madinah, Wahid dan Ilyas bergegas menuju makam Rasulullah. Hati mereka dipenuhi kerinduan dan harapan. Namun, apa yang mereka temui justru membuat dada mereka sesak.
Pada tanggal 8 Syawal 1345 H (21 April 1925 M), kaum Wahabi telah menghancurkan pemakaman Jannatul Baqi’ dan berbagai situs bersejarah lainnya. Kini, makam Rasulullah pun tidak lagi terawat dengan baik.
Saat Wahid mendekati makam, beliau melihat pagar besi tinggi yang menghalangi. Tidak ada bunga, tidak ada cahaya yang hangat. Bahkan, tentara Wahabi berdiri berjaga dengan wajah dingin.
Ketika Wahid mulai membaca doa, seorang prajurit mendekat dengan langkah keras.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanyanya dengan nada curiga.
Wahid menatapnya tenang. “Kami hanya ingin berziarah dan menyampaikan salam kepada Nabi Muhammad.”
Prajurit itu menggeleng. “Tidak ada yang boleh berdoa di sini. Ini bid’ah!” katanya dengan tegas.
Ilyas yang mendengar itu langsung meradang. “Bagaimana mungkin? Rasulullah adalah junjungan kita! Mengapa kita dilarang menghormati beliau?” katanya dengan penuh kekecewaan.
Namun, prajurit itu tetap tegas. “Pergi dari sini, atau kami akan mengusir kalian!”
Dengan hati yang berat, Wahid dan Ilyas melangkah pergi. Setelah cukup jauh, Ilyas tidak bisa menahan emosinya.
“Wahid, ini sungguh menyakitkan. Mereka mengaku pengikut Rasulullah, tapi mereka memperlakukan makam beliau seperti ini!” katanya dengan nada getir.
Wahid menatap langit Madinah yang kelam. “Ini adalah pelajaran bagi kita, Ilyas. Cinta kepada Rasulullah bukan sekadar ziarah fisik, tetapi bagaimana kita meneladani akhlaknya dan menjaga ajarannya.” Katanya dengan penuh perenungan.
Malam itu, Wahid berjanji dalam hatinya, ilmu yang Beliau dapat di tanah suci ini akan beliau bawa pulang. Islam Nusantara harus tetap menjadi Islam yang ramah, penuh kasih, dan tetap berakar pada kecintaan kepada Rasulullah.
Setelah satu tahun menimba ilmu di Hijaz, Wahid kembali ke Indonesia pada tahun 1933. Beliau pulang bukan hanya dengan ilmu, tetapi juga dengan kesadaran akan pentingnya menjaga Islam yang damai dan toleran.
Wahid kemudian menjadi sosok penting dalam Nahdlatul Ulama (NU), meneruskan perjuangan ayahnya, Kiai Hasyim Asy’ari. Beliau berjuang dalam mengembangkan pendidikan Islam, memperkuat posisi pesantren, serta mengawal Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia.
NU bukan hanya organisasi keagamaan, tetapi juga benteng pemikiran yang menjaga moderasi Islam di Nusantara. Wahid menyadari bahwa tantangan di masa depan adalah bagaimana Islam tetap berakar pada tradisi tetapi mampu menjawab tuntutan zaman. Ujar Aguk dalam bukunya
Kisah perjuangan ini menjadi relevan hingga kini. Bagaimana kita bisa meneruskan perjuangan NU? Dengan memahami nilai-nilai Islam yang damai, menjaga pesantren sebagai pusat keilmuan, dan melestarikan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang moderat.
Buku ini mengajarkan kita bahwa ilmu bukan sekadar untuk diri sendiri, tetapi harus menjadi manfaat bagi banyak orang. Abdul Wahid Hasyim adalah contoh bahwa seorang ulama tidak hanya bisa mengajar di pesantren, tetapi juga berperan dalam membangun bangsa dan mempertahankan Islam yang ramah dan inklusif.
Buku ini adalah bacaan yang wajib dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami perjalanan seorang ulama yang berjuang demi agama dan bangsanya, serta memahami bagaimana NU tetap menjadi garda terdepan dalam menjaga Islam yang damai dan moderat.