Tokoh

KH Abdul Wahid Hasyim Asy'ari dalam Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara (14)

Keteguhan Saat Menghadapi Jepang dan Siasat Membebaskan Kiai Hasyim

Keteguhan Saat Menghadapi Jepang dan Siasat Membebaskan Kiai Hasyim
Gambar pesantren Tebuireng zaman dahulu di salah satu halaman buku Arsip Tebuireng (dok pinterest)

Oleh: Ivan Febriyanto

 

Bagaimana seseorang bisa berdiri tegak di tengah badai sejarah, menghadapi dua penjajahan sekaligus, dan tetap memegang teguh prinsipnya? 

 

SURABAYA, PustakaJC.co - Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara karya Aguk Irawan, M.N. ini mengajak pembaca menyelami perjalanan hidup seorang ulama besar, K.H. Abdul Wahid Hasyim, dalam pergulatan politik, pendidikan, dan perjuangan kemerdekaan.

 

Buku ini bukan sekadar novel biografi biasa. Aguk dengan gaya penulisannya yang kuat dan emosional berhasil menghidupkan sosok K.H. Abdul Wahid Hasyim bukan hanya sebagai seorang ulama, tetapi juga sebagai negarawan yang cerdas dan strategis. Apakah kita selama ini memahami seberapa besar peran beliau dalam membentuk arah perjuangan bangsa? Buku ini akan membuka mata pembaca bahwa Kiai Wahid bukan sekadar putra dari Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, tetapi juga seorang pemikir reformis yang membawa angin segar bagi Islam di Nusantara.

 

Bagaimana jika seorang ulama bukan hanya berdakwah di pesantren, tetapi juga menjadi ancaman bagi penjajah? Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara karya Aguk Irawan, M.N. mengungkap bagaimana K.H. Abdul Wahid Hasyim bukan hanya berperan sebagai seorang pendidik, tetapi juga sebagai negosiator ulung, pemimpin strategi perlawanan, dan penggerak persatuan umat Islam.

 

Dari keberanian Kiai Hasyim Asy’ari menolak sujud kepada Kaisar Jepang, kecerdikan Abdul Wahid Hasyim dalam melobi petinggi militer Jepang demi membebaskan ayahnya, hingga perjuangan menyatukan umat Islam di tengah perpecahan, buku ini mengungkap fakta sejarah yang jarang dibahas. Ulama dalam buku ini bukan hanya tokoh agama, tetapi juga pejuang yang memahami bahwa kemerdekaan tidak bisa diraih hanya dengan doa, melainkan dengan strategi dan perlawanan yang cerdas.

 

Seorang tentara Jepang berseru dengan suara lantang, “Kiai Hasyim, tunduklah dan hormati Kaisar! Ini perintah yang harus dipatuhi oleh semua orang di tanah ini!”

 

Beliau tetap berdiri tegak, memandang lurus ke arah tentara itu. Dengan suara yang tenang namun penuh ketegasan, beliau menjawab, “Itu tidak mungkin saya lakukan, Tuan-Tuan Nippon. Saya seorang Muslim. Kewajiban saya hanya tunduk menyembah Allah, Tuhan saya.”

 

Seketika suasana menjadi lebih tegang. Para santri saling berpandangan dengan cemas. Salah satu santri berbisik kepada temannya, “Apa yang akan terjadi pada beliau? Jika menolak, hukuman mereka pasti berat.”

 

Santri lainnya menjawab dengan suara lirih, “Beliau lebih takut kepada Allah daripada kepada manusia. Kita harus tetap berpegang pada ajaran beliau.”

 

Keteguhan ini berujung pada penangkapan dan penyiksaan yang menyayat hati. Namun, semangat perlawanan pun bangkit. Para santri dan ulama tidak tinggal diam. Kabar keberanian Kiai Hasyim menyebar luas dan menginspirasi banyak orang untuk terus berjuang.

 

Bukan hanya dalam aspek keagamaan, K.H. Abdul Wahid Hasyim juga berperan besar dalam diplomasi politik. Diceritakan bagaimana beliau berhasil melobi Hitoshi Imamura, petinggi Jepang, demi membebaskan sang ayah dari penjara. Dengan bahasa yang cerdas dan argumentasi yang tajam, beliau berusaha meyakinkan Imamura bahwa menindas ulama hanya akan merugikan kepentingan Jepang di Indonesia.

 

Dalam sebuah pertemuan yang menegangkan, Imamura menatap beliau dengan tajam dan berkata, 

 

“Tuan Wahid, keberanian Anda luar biasa, tetapi apakah Anda siap menerima konsekuensi dari tindakan ini?”

 

Beliau tetap tenang dan menjawab, “Tuan, kebenaran selalu memiliki konsekuensi, dan saya siap menghadapinya. Namun, tidakkah Tuan berpikir bahwa menangkap Kiai Hasyim hanya akan menambah kebencian rakyat terhadap Jepang? Bukankah lebih baik jika Tuan justru bekerja sama dengan beliau?” ujar Wachid dengan nada yang sopan 

 

Hamid Ono, seorang pejabat Jepang yang mengenal Kiai Wahid, menimpali, “Imamura-san, Kiai Hasyim adalah pemimpin besar umat Islam di negeri ini. Jika beliau berpihak pada kita, ini akan menguntungkan.”

 

Imamura terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Baiklah. Saya akan mempertimbangkannya.”

 

Setelah diskusi panjang, akhirnya Imamura mengangguk dan berkata, “Kami akan membebaskan beliau, tetapi ada syaratnya.”

 

Beliau mengernyitkan dahi. “Syarat apa yang Tuan maksud?”

 

Imamura menjawab dengan suara datar, “Kiai Hasyim harus mau bekerja sama dengan kami, setidaknya dalam membantu menjaga ketertiban dan menghindari pemberontakan dari para santri dan ulama. Selain itu, beliau juga harus menunjukkan itikad baik untuk tidak menentang kebijakan Jepang di wilayah ini.”

 

Wahid Hasyim terdiam sejenak, lalu menatap Imamura dengan penuh ketegasan dan berkata, 

 

“Tuan, ayah saya adalah seorang ulama yang selalu mengutamakan kepentingan umat. Beliau tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan dan prinsipnya. Jika syarat ini dimaksudkan untuk mengekang kebebasan umat Islam, maka itu tidak bisa diterima.”

 

Imamura tersenyum tipis. “Kami hanya ingin memastikan tidak ada perlawanan.”

 

Setelah perdebatan panjang, akhirnya kesepakatan dicapai. Kiai Hasyim dibebaskan dengan catatan bahwa beliau akan tetap memimpin umatnya dengan damai, tanpa melakukan tindakan yang bisa dianggap sebagai ancaman bagi pemerintahan Jepang.

 

Buku ini lebih dari sekadar kisah sejarah. Ia menjadi refleksi bagi pembaca modern tentang keberanian, prinsip, dan strategi dalam menghadapi tantangan zaman. Bagaimana peran ulama saat ini? Apakah mereka masih memiliki semangat juang seperti Kiai Wahid? Atau justru kita yang semakin menjauh dari semangat perjuangan itu?

 

Melalui narasi yang kuat, Aguk Irawan mengajak kita untuk merenungi kembali makna kepemimpinan, perjuangan, dan keteguhan dalam prinsip. Bagi siapa pun yang ingin memahami lebih dalam tentang peran ulama dalam sejarah bangsa, Sang Mujtahid Islam Nusantara adalah bacaan yang wajib.

 

Sebagaimana yang sering dikatakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari, “Kita ini bukan sekadar pejuang, tetapi juga penjaga agama dan martabat bangsa.” Buku ini adalah pengingat bahwa perjuangan belum selesai, dan tugas kita adalah meneruskan perjuanganya.

Baca Juga : Legenda Cikal Bakal Gondanglegi Malang
Bagikan :