Tokoh

K.H. Abdul Wahid Hasyim Asy'ari dalam Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara (12)

Dilema Keikhlasan: Antara Ibadah dan Politik

Dilema Keikhlasan: Antara Ibadah dan Politik
Pondok pesantren tebuireng

Oleh: Ivan Febriyanto

 

Seberapa dalam kita mengenal K.H. Abdul Wahid Hasyim? Nama beliau tercatat dalam sejarah sebagai seorang ulama besar dan tokoh nasional, tetapi bagaimana sebenarnya kiprah dan perjuangannya?

 

SURABAYA, PustakaJC.co - Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara karya Aguk Irawan, M.N. tidak sekadar mengisahkan perjalanan hidup Abdul Wahid Hasyim, tetapi juga menggambarkan perjuangannya dalam menyatukan umat Islam, mempertahankan keikhlasan di tengah politik yang penuh intrik, serta menghadapi kolonialisme Belanda dengan strategi cerdas.

 

Buku ini menghadirkan ketegangan, dilema, serta semangat perjuangan yang membuat pembaca seolah ikut merasakan atmosfer sejarah yang terjadi pada masa itu.

 

Tahun 1937 menjadi titik balik dalam sejarah perjuangan umat Islam di Indonesia. Pada masa itu, perpecahan antar organisasi Islam masih menjadi tantangan besar. Menyadari pentingnya persatuan, para ulama dari berbagai organisasi berkumpul dan membentuk Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI), sebuah wadah yang menyatukan berbagai kelompok Islam dengan tujuan memperkuat perjuangan umat.

 

Namun, persatuan bukanlah hal yang mudah. Perbedaan pandangan sering kali menjadi batu sandungan. Pemerintah Hindia Belanda pun melihat gerakan ini sebagai ancaman. Mereka khawatir, jika umat Islam bersatu, maka kekuasaan kolonial bisa terancam.

 

Salah satu langkah yang ditempuh Belanda adalah mencoba merangkul para ulama dengan cara halus, salah satunya menawarkan penghargaan kepada Kiai Hasyim Asy’ari.

 

Kabar itu pun segera menyebar ke Pesantren Tebuireng.

 

Malam itu, ruangan terasa sunyi meskipun dipenuhi santri dan para tokoh pesantren. Lampu minyak berkedip-kedip, bayangan api menari di dinding kayu. Bisik-bisik terdengar, mencerminkan kegelisahan para santri yang mencoba memahami apa yang sedang terjadi.

 

Seorang santri akhirnya memberanikan diri bertanya,

 

“Jadi bagaimana, Gus?”

 

Abdul Wahid, yang sejak tadi termenung, menatap mereka satu per satu. Udara di ruangan terasa berat, semua menanti jawaban pasti.

 

“Saya kira, Kiai Hasyim tak akan menerimanya,” jawabnya dengan tenang.

 

Santri lain bertanya lagi,

 

“Apa alasannya? Bukankah itu penghargaan atas jasa beliau?”

 

Abdul Wahid menarik napas dalam sebelum menjawab,

 

“Abah tahu apa yang terbaik. Menerima penghargaan kompeni sama artinya mengakui mereka sebagai pemimpin negeri ini. Itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap para ulama terdahulu yang selalu menentang penjajahan!”

 

Keheningan menyelimuti ruangan. Semua memahami bahwa ini bukan sekadar soal penghargaan, melainkan persoalan prinsip.

 

Hari yang dinantikan pun tiba. Seorang utusan dari pemerintah Hindia Belanda datang ke Tebuireng.

 

Kiai Hasyim menerima tamunya dengan ramah, sebagaimana beliau selalu memperlakukan setiap tamu tanpa membeda-bedakan. Setelah berbasa-basi sejenak, utusan itu akhirnya menyampaikan maksud kedatangannya.

 

“Kami datang untuk menyampaikan penghargaan dari pemerintah kepada Kiai atas jasa-jasanya dalam pendidikan dan dakwah Islam,” ujar sang utusan dengan sopan.

 

Kiai Hasyim tersenyum. Ia mengangguk-angguk, tetapi tidak langsung menjawab. Suasana menjadi tegang.

 

“Bagaimana, Kiai? Sudikah Kiai menerimanya?” tanya utusan itu hati-hati.

 

Kiai Hasyim akhirnya bersuara,

 

“Saya sangat bersyukur dan berterima kasih atas perhatian pemerintah. Saya merasa terhormat. Namun, saya membutuhkan waktu untuk mempertimbangkan hal ini.”

 

Utusan itu mengangguk, merasa lega karena tidak mendapat penolakan langsung.

 

Namun, setelah beberapa waktu, Kiai Hasyim akhirnya mengambil keputusan.

 

Dengan suara tenang namun penuh ketegasan, beliau berkata,

 

“Saya ini tiap hari hanya memikirkan amal ibadah saya. Sebagai seorang Muslim, saya hanya berharap ibadah saya diterima oleh Allah. Saya takut, jika saya menerima penghargaan ini, niat saya menjadi tidak ikhlas. Maka, saya memutuskan untuk menolaknya.”

 

Keputusan ini mengejutkan banyak pihak. Namun, penolakan Kiai Hasyim justru membuat pemerintah Hindia Belanda semakin yakin bahwa perjuangannya benar-benar murni untuk agama, bukan demi kepentingan politik pribadi.

 

Sementara itu, di tempat lain, Abdul Wahid Hasyim, bersama dua sahabatnya Joko dan Iksan membahas langkah selanjutnya.

 

Di rumah Iksan, mereka bertiga duduk santai sambil menikmati teh hangat. Meskipun terlihat santai, pembicaraan mereka sangat serius.

 

“Kalian tahu? Abah menolak penghargaan dari kompeni!” kata Abdul Wahid membuka pembicaraan.

 

“Benarkah? Lalu bagaimana reaksi mereka?” tanya Iksan dengan penasaran.

 

Joko terkekeh,

 

“Rencana kita berhasil! Para pemimpin organisasi Islam akhirnya menyadari pentingnya persatuan. Santri-santri kita juga sudah menjalankan peran mereka dengan baik—memprovokasi perdebatan tanpa menimbulkan permusuhan. Justru, itu semakin menguatkan tekad persatuan.”

 

Mereka bertiga tertawa ringan. Bukan karena menganggap perjuangan ini permainan, tetapi karena mereka tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil telah mempercepat tercapainya tujuan besar: persatuan umat Islam.

 

Namun, perjuangan belum selesai.

 

Joko menatap Abdul Wahid dan berkata,

 

“Kami berencana turun langsung ke lapangan, menemui tokoh-tokoh nasionalis dan kelompok lainnya. Sudah bukan waktunya lagi kita hanya mengamati dari jauh.”

 

Abdul Wahid terdiam sejenak, lalu mengangguk dan berkata

 

“Baiklah. Kita semua berimprovisasi sesuai keadaan. Saya percaya kalian akan melakukan yang terbaik.”

 

Malam itu, mereka berpisah, tidak tahu kapan bisa bertemu lagi. Namun, mereka yakin bahwa masing-masing sedang berjalan di jalur yang sama memperjuangkan Islam dan kemerdekaan Indonesia.

 

Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara bukan sekadar biografi. Ini adalah kisah tentang keteguhan hati, strategi perjuangan, dan dilema keikhlasan dalam dunia politik.

 

Aguk Irawan berhasil menghidupkan sejarah dengan narasi yang menggugah. Ia tidak hanya menyajikan fakta, tetapi juga membangun suasana yang membuat pembaca seolah ikut hadir di tengah peristiwa-peristiwa penting.

 

Setiap halaman membawa kita pada ketegangan, harapan, dan kebijaksanaan seorang ulama besar yang tak hanya memikirkan umatnya di masa itu, tetapi juga masa depan bangsa.

 

Bagi siapa saja yang ingin memahami lebih dalam tentang sejarah perjuangan Islam di Nusantara dan peran ulama dalam politik, buku ini adalah bacaan wajib!

Baca Juga : Si Pelestari Cucuk Lampah Penjaga Budaya Tanah Jawa
Bagikan :