Di rumah Iksan, mereka bertiga duduk santai sambil menikmati teh hangat. Meskipun terlihat santai, pembicaraan mereka sangat serius.
“Kalian tahu? Abah menolak penghargaan dari kompeni!” kata Abdul Wahid membuka pembicaraan.
“Benarkah? Lalu bagaimana reaksi mereka?” tanya Iksan dengan penasaran.
Joko terkekeh,
“Rencana kita berhasil! Para pemimpin organisasi Islam akhirnya menyadari pentingnya persatuan. Santri-santri kita juga sudah menjalankan peran mereka dengan baik—memprovokasi perdebatan tanpa menimbulkan permusuhan. Justru, itu semakin menguatkan tekad persatuan.”
Mereka bertiga tertawa ringan. Bukan karena menganggap perjuangan ini permainan, tetapi karena mereka tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil telah mempercepat tercapainya tujuan besar: persatuan umat Islam.
Namun, perjuangan belum selesai.
Joko menatap Abdul Wahid dan berkata,
“Kami berencana turun langsung ke lapangan, menemui tokoh-tokoh nasionalis dan kelompok lainnya. Sudah bukan waktunya lagi kita hanya mengamati dari jauh.”
Abdul Wahid terdiam sejenak, lalu mengangguk dan berkata