Oleh: Ivan Febriyanto
Bagaimana mungkin sebuah pesantren kecil di Tebuireng tumbuh menjadi benteng perlawanan yang menggemparkan penjajah? Apa yang membuat seorang pemuda seperti K.H. Abdul Wahid Hasyim mampu melampaui batas-batas tradisi dan mengubah wajah Islam di Indonesia?
SURABAYA, PustakaJC.co - Sang Mujtahid Islam Nusantara bukan sekadar buku biografi. Aguk Irawan, M.N. sebagai penulis menyajikan narasi yang tidak hanya merekam jejak Wahid Hasyim sebagai seorang ulama dan negarawan, tetapi juga menghadirkan refleksi mendalam tentang bagaimana pesantren dan Islam berkembang di Nusantara. Dengan bahasa yang kuat dan menggugah, Aguk mengajak pembaca menyelami sejarah yang tidak hanya hidup, tetapi juga terus berdenyut dalam semangat perjuangan bangsa.
Dalam sebuah cerita dalam buku, tentang pembakaran Pesantren Tebuireng yang dilakukan oleh Kompeni, Aguk bercerita bahwa kebekaran itu bukanlah akhir dari Tebuireng, memang tebuireng menjadi arang dan abu, namun Tebiureng yang selalu bersemayam di hati para Kiai, Gus, dan Santri kembali membuat pesantren ini kembali berdiri bahkan jauh lebih besar dari sebelumnya.
Dalam penggalan cerita, langit Tebuireng memerah. Asap pekat membumbung tinggi, sementara api melahap habis atap dan dinding pesantren. Pesantren yang telah berdiri selama 14 tahun itu kini hampir rata dengan tanah. Abu dan sisa-sisa bangunan yang hangus menjadi saksi bisu. Para santri tak kuasa menahan tangis.
"Kitab-kitab kita! Semua terbakar!" seru seorang santri dengan suara gemetar.
"Bagaimana kita akan belajar sekarang?" yang lain meratap.
Kompeni tertawa puas.
Kaum santri berduka.
Namun, duka itu berubah menjadi kemarahan. Kabar pembakaran Pesantren Tebuireng segera menyebar. Jombang terperangah. Media seperti Penyebar Semangat menuliskan tragedi ini. Para ulama dari berbagai daerah, mulai dari Jawa hingga Madura, mulai bersuara.
"Ini penghinaan! Ulama kita dilecehkan!" seru seseorang dalam perkumpulan santri.
"Pesantren dibakar, apakah kita akan tinggal diam?"
"Tentu tidak! Kita harus melawan!"
Namun, di antara semangat yang berkobar, muncul pertanyaan-pertanyaan mengguncang:
"Beranikah kita melawan kompeni?"
"Apa yang bisa kita lakukan sebagai santri?"
"Bagaimana jika pesantren kita terus dihancurkan?"
Tetapi satu hal pasti: Pesantren Tebuireng tidak akan mati.
Aguk dengan tegas menulis dalam bukunya,menggambarkan semangat membara para santri “Kita bisa kehilangan bangunan, tetapi kita tidak boleh kehilangan keberanian! Lihatlah bagaimana ilmu-ilmu pesantren tidak pernah padam meski dikepung api! Sejarah tidak pernah mengampuni mereka yang menyerah!”
Tak butuh waktu lama, gelombang simpati datang dari segala penjuru. Bantuan mengalir bak hujan. Bahan bangunan, uang, makanan, hingga tenaga, semuanya ditujukan untuk membangun kembali Tebuireng.
Belanda mulai panik.
"Wat zullen we doen? Apa yang harus kita lakukan?" tanya seorang petinggi Belanda.
"Pesantren tidak boleh bersatu!" jawab yang lain.
"Remukkan mereka dengan cara halus. Jangan sampai mereka bangkit kembali."
Tapi mereka keliru. Para santri dan ulama justru semakin bersatu. Dalam waktu 20 hari, Pesantren Tebuireng kembali berdiri.
"Mereka pikir kita akan menyerah?" tulis Aguk menunjukkan ketegasan kaum santri.
"Tidak! Sejarah telah membuktikan bahwa pesantren bukan sekadar bangunan. Ia adalah ruh, dan ruh itu tak bisa dihancurkan dengan api!"
Kiai Hasyim dan keluarganya kembali. Para santri pun melanjutkan aktivitas mereka. Belajar. Berjuang. Bertahan.
"Dan inilah inti dari perjuangan!"
"Pesantren-pesantren kita tidak pernah dibangun dengan kemewahan, tetapi dengan darah, keringat, dan doa! Siapa yang bisa menghancurkan sesuatu yang dibangun dengan ketulusan seperti ini?"
Masih dalam bab yang sama, Aguk menceritakan, suatu malam, di tengah lapangan sebelah selatan masjid, Joko, seorang santri, merenung. Ia memilih tidur di atas lincak bambu, menikmati langit berbintang.
Tiba-tiba, suara lembut namun berwibawa menyapanya.
"Le, kamu belum tidur?"
Joko menoleh. Itu Kiai Hasyim.
"Belum, Kiai," jawabnya dengan hormat.
"Bagus ya langitnya?" sang Kiai berbasa-basi.
"Injih, Kiai."
Hening sejenak. Lalu, Kiai Hasyim menatap Joko dalam-dalam.
"Aku tahu, Le. Aku yakin, kamu mencari seseorang."
Joko tercekat. Hatinya berdebar.
"Bukankah kamu mencari Satrio Piningit?"
Joko semakin gugup. Ia mengusap keringat yang tiba-tiba membanjiri wajahnya.
"Sakjane, kulo niku..." suaranya terputus-putus.
Kiai Hasyim tersenyum tipis, lalu berkata dengan tenang namun penuh keyakinan:
"Aku tahu, Le. Aku yakin, dia akan segera lahir."
Joko terkejut. Matanya membulat.
"Benarkah, Kiai? Kapan?" tanyanya dengan penuh semangat.
Namun, sang Kiai tak menjawab. Ia hanya tersenyum... lalu menghilang dalam kegelapan malam.
Joko mengucek matanya, mencoba memastikan apakah itu nyata atau sekadar ilusi.
Malam semakin larut. Satu per satu santri bangun, mengambil air wudu, lalu bersiap melaksanakan tahajud.
Joko menarik napas dalam-dalam.
"Aku harus segera berwudu juga," ucapnya dalam hati.
Malam itu, langit Tebuireng bersaksi. Bukan hanya tentang pesantren yang bangkit dari abu, tetapi juga tentang pertanda bahwa pemimpin besar akan segera lahir.
Buku ini bukan sekadar novel biografi. Ia adalah catatan sejarah yang hidup, yang penuh dengan ketegangan, harapan, dan kebangkitan. Aguk menulis dengan nada yang tajam dan penuh makna.
“Apa yang kita pelajari dari ini?” tanya Aguk dalam bukunya. “Kita sudah melihat bagaimana para santri berjuang. Tapi pertanyaannya, apakah kita memiliki keberanian yang sama?”
“Sejarah tidak menunggu orang-orang yang ragu!” tegasnya. “Kita bisa memilih menjadi bagian dari mereka yang berjuang, atau hanya menjadi penonton yang kelak menyesal.”
"Jangan sampai kita hanya mengenang perjuangan ini tanpa melanjutkannya," tulis Aguk dengan nada kecewa. "Apa gunanya kita mengagumi kisah hebat ini jika kita sendiri tidak siap menjadi bagian dari sejarah berikutnya?"
Jika Anda ingin memahami bagaimana pesantren menjadi benteng perlawanan dan bagaimana seorang pemimpin besar lahir dari kobaran api perjuangan, maka Sang Mujtahid Islam Nusantara wajib Anda baca!