Kiai Hasyim dan keluarganya kembali. Para santri pun melanjutkan aktivitas mereka. Belajar. Berjuang. Bertahan.
"Dan inilah inti dari perjuangan!"
"Pesantren-pesantren kita tidak pernah dibangun dengan kemewahan, tetapi dengan darah, keringat, dan doa! Siapa yang bisa menghancurkan sesuatu yang dibangun dengan ketulusan seperti ini?"
Masih dalam bab yang sama, Aguk menceritakan, suatu malam, di tengah lapangan sebelah selatan masjid, Joko, seorang santri, merenung. Ia memilih tidur di atas lincak bambu, menikmati langit berbintang.
Tiba-tiba, suara lembut namun berwibawa menyapanya.
"Le, kamu belum tidur?"
Joko menoleh. Itu Kiai Hasyim.
"Belum, Kiai," jawabnya dengan hormat.
"Bagus ya langitnya?" sang Kiai berbasa-basi.
"Injih, Kiai."
Hening sejenak. Lalu, Kiai Hasyim menatap Joko dalam-dalam.
"Aku tahu, Le. Aku yakin, kamu mencari seseorang."
Joko tercekat. Hatinya berdebar.
"Bukankah kamu mencari Satrio Piningit?"
Joko semakin gugup. Ia mengusap keringat yang tiba-tiba membanjiri wajahnya.
"Sakjane, kulo niku..." suaranya terputus-putus.
Kiai Hasyim tersenyum tipis, lalu berkata dengan tenang namun penuh keyakinan:
"Aku tahu, Le. Aku yakin, dia akan segera lahir."
Joko terkejut. Matanya membulat.
"Benarkah, Kiai? Kapan?" tanyanya dengan penuh semangat.
Namun, sang Kiai tak menjawab. Ia hanya tersenyum... lalu menghilang dalam kegelapan malam.
Joko mengucek matanya, mencoba memastikan apakah itu nyata atau sekadar ilusi.
Malam semakin larut. Satu per satu santri bangun, mengambil air wudu, lalu bersiap melaksanakan tahajud.
Joko menarik napas dalam-dalam.
"Aku harus segera berwudu juga," ucapnya dalam hati.