Tokoh

KH Abdul Wahid Hasyim Asy’ari dalam Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara (6)

Ketika Pendidikan Dibatasi, Bagaimana Santri Bisa Melawan?

Ketika Pendidikan Dibatasi, Bagaimana Santri Bisa Melawan?
ilustrasi santri Pesantren Tebuireng (dok tebuireng)

Oleh: Ivan Febriyanto

 

Bagaimana seorang ulama besar lahir, tumbuh, dan mengukir sejarah dalam dunia Islam Nusantara? Apa yang membuat KH Abdul Wahid Hasyim bukan sekadar seorang santri, tetapi juga seorang negarawan?

SURABAYA, PustakaJC.co - Aguk Irawan, dalam buku Sang Mujtahid Islam Nusantara, mengajak kita menelusuri jejak langkah KH Abdul Wahid Hasyim Asy’ari selanjutnya dikenal dengan Kiai Wahid Hasyim, dengan gaya narasi yang tidak hanya bernas, tetapi juga menggugah perasaan.

 

Buku ini bukan sekadar biografi biasa. Aguk tidak hanya menghadirkan peristiwa-peristiwa monumental dalam kehidupan K.H. Abdul Wahid Hasyim, tetapi juga menghidupkan kembali suasana era tersebut. Dari kisah-kisah penuh ketegangan hingga pertarungan intelektual dan spiritual dalam membangun pemikiran Islam yang kontekstual dengan Indonesia, semua tersaji dengan detail yang mengundang decak kagum.

 

Lihat bagaimana sang ulama harus menghadapi berbagai tantangan, dari pihak kolonial hingga arus tradisionalisme yang enggan menerima pembaruan. Dengan gaya narasi yang mengalir, Aguk menuliskan bagaimana sosok K.H. Abdul Wahid Hasyim bukan hanya seorang pendakwah, melainkan juga seorang visioner yang meretas batasan zaman.

 

Dalam sebuah bab di dalam buku, Aguk mengisahkan suatu ketika, Kiai Wahid Hasyim bersama beberapa santrinya mendapatkan gangguan dari beberapa orang. Gangguan itu mengusik ketenangan Sang Kiai hingga membuat emosi santri yang semula tenang berubah berarus menimbulkan keinginan untuk melawan. Namun,

 

“Jangan dilawan,” ujar Kiai Hasyim kepada para santri yang ingin membalas gangguan terhadap pesantren mereka. Dengan tenang, beliau memilih jalan yang lebih arif—jalan ilmu, kesabaran, dan strategi jangka panjang. Kutipan ini menjadi bukti bahwa pemimpin sejati tidak hanya berpikir tentang kemenangan sesaat, tetapi tentang perubahan yang lebih luas dan mendalam.

 

Namun, apakah kesabaran selalu cukup? Ketika tekanan semakin meningkat, ketika gangguan berubah menjadi ancaman nyata, bagaimana seharusnya seorang ulama bertindak?

 

“Kiai, sampai kapan kita harus bersabar? Mereka sudah keterlaluan!” ujar salah seorang santri dengan suara bergetar.

 

K.H. Abdul Wahid Hasyim menatap santri itu dengan mata penuh kebijaksanaan. “Kesabaran itu tidak berarti diam, Nak. Tapi menunggu waktu yang tepat untuk bertindak dengan cara yang benar.”

 

Para santri dilatih ilmu kanuragan, bukan untuk menyerang, tetapi untuk membela diri dan menjaga ketenangan pesantren. Tujuannya bukan untuk menang dan mengalahkan lawan saja, tetapi lebih pada menegakkan keadilan.

 

Apakah K.H. Abdul Wahid Hasyim hanya seorang pemimpin pesantren? Ataukah beliau telah menanamkan benih perubahan bagi Islam Indonesia? Aguk Irawan menyajikan tokoh ini bukan hanya sebagai figur sejarah, tetapi juga sebagai sosok yang relevan untuk zaman ini.

 

Dengan gaya bahasa yang hidup, deskripsi yang tajam, dan kedalaman riset yang kuat, Sang Mujtahid Islam Nusantara adalah buku yang tidak hanya layak dibaca, tetapi juga pantas untuk dijadikan bahan perenungan.

 

Buku ini bukan hanya sekadar biografi beliau adalah cermin bagi kita semua, tentang bagaimana keilmuan, keteguhan, dan visi besar mampu mengubah sejarah.

Baca Juga : Dari Rasa Takut Hingga Podium Juara di Sirkuit Bulutangkis Surabaya
Bagikan :