Tokoh

KH Abdul Wahid Hasyim Asy’ari dalam Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara (5)

Dilema Pemimpin: Antara Kemandirian Umat dan Bantuan Negara

Dilema Pemimpin: Antara Kemandirian Umat dan Bantuan Negara
KH Abdul Wahid Hasyim Asy’ari (dok perpusnas)

Oleh: Ivan Febriyanto

 

“Menjadi pemimpin bukan sekadar tentang mengambil keputusan, tetapi juga memahami dampaknya. Ketika sebuah kebijakan justru menimbulkan ketergantungan, apa yang harus dilakukan?”

 

SURABAYA, PustakaJC.co - KH Wahid Hasyim adalah seorang ulama visioner yang tidak hanya memahami agama secara mendalam, tetapi juga berpikir jauh ke depan tentang bagaimana Islam harus hadir dalam kehidupan bernegara.

 

Sebagai putra Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Wahid Hasyim tumbuh dalam lingkungan pesantren yang sarat dengan nilai-nilai keislaman. Namun, berbeda dengan banyak ulama sezamannya, beliau memiliki pemikiran progresif yang berusaha menjembatani Islam dengan nasionalisme.

 

Saat diangkat menjadi Menteri Agama pertama Indonesia, beliau membawa visi besar: memastikan umat Islam mendapatkan hak-haknya dalam pemerintahan tanpa kehilangan kemandirian mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, beliau melihat sesuatu yang mengkhawatirkannya umat Islam mulai terbiasa mengandalkan bantuan dari pemerintah.

 

Dulu umat Islam membangun masjid dan pesantren dengan gotong royong. Kini, mereka bertanya, di mana bantuan dari Menteri Agama?’ batin Wahid Hasyim

 

Kegelisahan ini terus menghantui pikirannya. Dalam sebuah perbincangan dengan Kiai Saifuddin Zuhri, Wahid Hasyim mengungkapkan dilema yang dihadapinya.

 

“Saya mulai bertanya-tanya, apakah kebijakan bantuan keuangan yang saya buat ini benar? Jangan-jangan malah membuat umat semakin lemah dan bergantung,” ujar Beliau sambil menatap sahabatnya itu dengan serius.

 

Kiai Zuhri tidak langsung menjawab. Ia menatap Wahid Hasyim beberapa saat sebelum bertanya balik,

“Lha kalau bukan Departemen Agama yang membantu, siapa lagi? Bukankah sampeyan sendiri yang merancang kebijakan ini?”

 

Pertanyaan itu menghantam Wahid Hasyim. Beliau terdiam, merenungkan kembali niat awalnya.

 

“Benar,” akhirnya beliau menjawab. “Saya yang membuat kebijakan ini. Tapi tujuan saya bukan untuk menjadikan mereka bergantung, melainkan membangkitkan semangat mereka.”

 

Beliau menarik napas panjang, lalu menambahkan, “Tapi sekarang, saya khawatir. Jika umat Islam terus-menerus mendapatkan bantuan tanpa berusaha sendiri, mereka akan kehilangan daya juangnya.”

 

Kiai Zuhri mengangguk pelan. “Mungkin ini saatnya sampeyan memberikan batasan dalam kebijakan itu. Agar umat tahu bahwa bantuan ada untuk mendorong, bukan untuk menggantikan usaha mereka sendiri.”

 

Percakapan itu meninggalkan bekas dalam hati Wahid Hasyim. Beliau menyadari bahwa seorang pemimpin harus berani mengoreksi dirinya sendiri ketika kebijakan yang dibuat tidak berjalan sesuai harapan.

 

Beberapa waktu setelah perbincangan itu, terjadi perombakan kabinet dalam pemerintahan. Nama Wahid Hasyim tidak lagi tercantum dalam daftar menteri baru. Banyak orang, terutama pendukungnya, merasa kecewa.

 

“Bagaimana mungkin seorang tokoh sebesar Kiai Wahid tidak lagi menjadi Menteri Agama?” bisik beberapa orang.

 

Namun, berbeda dengan mereka, Wahid Hasyim justru tetap tenang. Baginya, jabatan bukanlah segalanya. Yang lebih penting adalah bagaimana seorang pemimpin bisa memberikan manfaat bagi umat, entah melalui jabatan atau tidak.

 

“Menjadi menteri bukan tujuan akhir saya. Selama saya bisa berbuat untuk umat, saya tidak peduli berada di dalam atau di luar pemerintahan.”

 

Begitulah sikap seorang Wahid Hasyim. Beliau tidak haus kekuasaan, tetapi berfokus pada perjuangan jangka panjang untuk umat Islam dan bangsa Indonesia.

 

Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara menggambarkan bagaimana seorang ulama bisa menjadi pemimpin yang berpikir strategis dan berani mengoreksi kebijakan yang beliau buat sendiri. Kisah Wahid Hasyim bukan hanya tentang seorang menteri agama, tetapi juga tentang dilema seorang pemimpin yang harus menjaga keseimbangan antara memberikan bantuan dan membangun kemandirian umat.

Baca Juga : Kisah Keteguhan Sang Ulama dan Negarawan
Bagikan :