Namun, takdir Allah berkata lain. Sang Pencipta memanggilnya kembali dengan cara yang tidak pernah terduga. Kiai Wahid wafat dalam kecelakaan mobil saat perjalanan ke sebuah undangan pertemuan Nahdlatul Ulama (NU). Kala itu, 19 April 1953, di usianya yang masih 39 tahun, Kiai Wahid berpulang kepada Sang Khaliq, meninggalkan duka mendalam, terutama bagi para santrinya.
"Abah Wahid tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi juga kebijaksanaan," ujar salah seorang santrinya dalam cerita yang ditulis Aguk.
Meski telah tiada, gagasan dan perjuangannya tetap hidup. Kebijakan pendidikan agama yang ia rancang serta semangatnya dalam menjaga keseimbangan antara Islam dan kebangsaan masih menjadi fondasi penting bagi negeri ini.
"Jangan hanya mengaji kitab, tapi pahami dunia. Umat Islam butuh ulama yang berpikir luas, bukan hanya yang hafal dalil."
Buku ini bukan sekadar biografi, melainkan refleksi mendalam tentang bagaimana seorang ulama bisa menjadi jembatan antara agama dan negara. Sang Mujtahid Islam Nusantara membawa pembaca menyelami pemikiran Wahid Hasyim yang begitu relevan hingga hari ini. Sebuah bacaan yang tidak hanya menginspirasi, tetapi juga mengajarkan bahwa Islam dan nasionalisme bisa berjalan beriringan.