Tokoh

KH Abdul Wahid Hasyim Asy’ari dalam Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara (3)

Tumbuh di Lingkungan yang Baik

Tumbuh di Lingkungan yang Baik
Pintu masuk Pondok Pesantren Tebuireng pada masa kini, dahulu, KH Wahid Hasyim tinggal disini (dok tebuirang)

 

Suatu hari, ketika Kiai Bishri Syamsuri datang berkunjung, Wahid kecil tiba-tiba turun dari pangkuan ibunya dan berlari ke arah pintu. Nyai Nafiqoh heran, karena tidak melihat siapa-siapa di luar. Namun beberapa saat kemudian, benar saja, Kiai Bishri muncul.

 

"Subhanallah… anak ini seperti tahu lebih dulu," batin Nyai Nafiqoh.

 

Tak hanya itu, Wahid selalu ikut dalam diskusi ayahnya dengan para ulama. Saat Kiai Hasyim Asy’ari berbicara dengan Kiai Bishri tentang perkembangan ajaran Wahhabi yang semakin kuat di Jawa, Wahid hanya diam, mengangguk-angguk sambil ngemil biskuit. Aguk menuliskan momen ini dengan begitu menarik:

 

"Sepertinya, Abdul Wahid menikmati perbincangan agama antara abahnya dan Kiai Bishri, meski beliau masih seorang bocah."

 

Perjalanan Wahid Hasyim tak berhenti di pesantren. Pada usia 15 tahun, beliau dikirim belajar ke Makkah, tempat ia semakin memperdalam ilmu agama dan memahami Islam dalam konteks global. Setelah kembali ke Indonesia, beliau menjadi tokoh yang memperjuangkan integrasi Islam dalam kebangsaan.

 

Pada usia 31 tahun, Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama pertama Indonesia. Beliau memainkan peran penting dalam perumusan dasar negara, memastikan bahwa nilai-nilai Islam dan kebangsaan bisa berjalan berdampingan.

 

Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara bukan hanya sekadar biografi, tetapi juga potret perjuangan seorang ulama muda yang mengubah wajah Islam di Indonesia.

 

“Bagaimana seorang anak yang sejak kecil lebih memilih kitab daripada mainan, bisa tumbuh menjadi pemimpin besar?”

 

Jawabannya ada dalam buku ini. Bacalah, dan bersiaplah untuk terinspirasi.

Baca Juga : Tumbuh di Lingkungan yang Baik
Bagikan :