Oleh: Permata Ayu
SURABAYA, PustakaJC.co - Saat menjadi Menteri Agama Republik Indonesia, KH Abdul Wahid Hasyim Asy’ari atau selanjutnya disebut KH Wahid Hasyim mulai melihat tanda-tanda munculnya sikap manja di kalangan umat Islam.
Hal ini seperti yang dituliskan Aguk Irawan MN dalam buku yang mengupas biografi KH Wahid Hasyim yang bertajuk Sang Mujtahid Islam Nusantara, Novel Biografi KH Abdul Wahid Hasyim Asy’ari terbitan Mizan (2016).
Dalam buku itu, Aguk menulis bahwa sikap manja merupakan salah satu sikap yang tidak disukai oleh Sang Kiai.
Menurut pemikiran Kiai Wahid, umat Islam pada masa itu terlalu mengandalkan dukungan dari para pejabat yang beragama Islam, utamanya Menteri agama.
“Sikap ini lambat laun akan melahirkan menurunnya semangat berusaha dan kurangnya rasa percaya diri pada umat,” begitu pemikiran Sang Kiai yang dituangkan Aguk dalam bukunya.
Masih menurut Kiai Wahid, mereka merasa punya Menteri yang bisa dimintai bantuan apapun, terutama bantuan materi.
Sang Kiai pernah mengeluhkan kondisi dilematis ini kepada Kiai Saifuddin Zuhri. Kepadanya Kiai Wahid menanyakan salah ataukah tidak sikapnya yang memberikan bantuan keuangan kepada umat Islam, dalam hal ini, posisinya adalah sebagai Menteri agama.
Kiai Wahid menjabarkan kepada Kiai Zuhri, hal ini Beliau lakukan karena umat Islam sejak dulu tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah Hindia Belanda, baik material maupun moral. Menurut Kiai Wahid, umat Islam memiliki kepercayaan pada diri sendiri sedemikian besar. Dengan kemampuan sendiri, dengan semangat gotong royong, umat Islam mendirikan masjid, madrasah pesantren dan bangunan untuk kepentingan agama lainnya.
“Namun kini setelah merasakan bantuan departemen agama, mereka menjadi manja. Lebih mengandalkan bantuan daripada upaya dan kepercayaan diri,” ujarnya.
Keluhan ini ditanggapi Kiai Zuhri secara bijaksana. Bukan menjawab ataupun memberikan penilaian terhadap kinerja dan apa yang dilakukan Kiai Wahid dalam posisinya sebagai Menteri agama. Kiai Zuhri justru membalikkan pertanyaan kepada Kiai Wahid.
“Bukankah seharusnya Depertemen Agama membantu umat Islam. Lha yang selama ini membantu siapa? Kan sampeyan sendiri Menteri agama pertama yang melakukan kebijakan melakukan kebijakan bantuan?” tanya balik Kiai Zuhri.
Pertanyaan ini sontak membuat Kiai Wahid terdiam dan merenung sejenak. Kemudian dengan tegas Beliau mengakui benar bahwa beliaulah yang membuat kebijakan tersebut. Namun, pemberian bantuan ini dimaksudkan untuk lebih membangun semangat dan kepercayaan diri yang lebih besar di kalangan umatnya, bukan malah menjadikan mereka manja.
“Pertanyaan saya itu seperti zelf-correctie, kritik diri bagi saya,” ujar Kiai Wahid menutup perbincangan dengan sahabatnya itu.
Ada juga kisah menarik Kiai Wahid yang ditulis Aguk dalam bukunya. Yakni ketika terjadinya perombakan kabinet dalam pemerintahan dan nama Kiai Wahid tidak tercantum di dalamnya. Hal ini membuat beberapa orang -pendukung Kiai Wahid- merasa kecewa. Hal ini bertolak belakang dengan Kiai Wahid, beliau cuek dengan tidak adanya Namanya di kabinet baru.
Bagi Sang Kiai, lengser dari tampuk kepemimpinan sebagai Menteri bukanlah hal yang berat. Yang terberat dalam hidupnya adalah menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan negara, bagi umat dan agama.
Begitulah Kiai Wahid yang diceritakan Aguk. Beliau adalah sosok yang selalu mementingkan kepentingan umat, demi kebaikan umat, bangsa dan negara.
Di akhir bab, Aguk menutup cerita dengan wafatnya Sang Kiai dalam sebuah kecelakaan mobil saat perjalanan menghadiri undangan NU. (int)