SURABAYA, PustakaJC.co - Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, adalah sosok yang penuh kontroversi. Ia bukan tradisionalis atau modernis Islam, melainkan pemikir liberal dan pemimpin organisasi Islam berbasis tradisi terbesar.
Pemikiran Gus Dur yang paling terkenal adalah tentang hubungan agama dan negara. Menurutnya, Islam tidak memiliki doktrin khusus mengenai negara, dan untuk memahami persoalan negara, tidak diperlukan aturan baku. Artikel ini akan membahas bagaimana Islam memandang negara dan hubungannya dengan agama.
Gus Dur berasumsi bahwa kita harus merumuskan kembali kedudukan hukum agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, realitas di lapangan menunjukkan banyak persoalan kontemporer yang membutuhkan hukum agama.
Namun, Islam saat ini diterapkan secara tekstual atau harfiah saja, tanpa mempertimbangkan konteks dan kondisi zaman yang penuh persoalan kompleks.
Oleh karena itu, menurut Gus Dur, salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan merumuskan kembali kedudukan hukum agama, khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Gus Dur, Islam tidak memperkenalkan doktrin secara langsung tentang negara. Dalam persoalan negara, ia berpendapat bahwa negara tidak memiliki aturan baku yang absolut, melainkan disesuaikan dengan kondisi negara itu sendiri, apakah menggunakan model demokrasi atau monarki.
Namun, ada tiga hal yang dianggap penting menurut Gus Dur, yaitu: pertama, harus mengedepankan prinsip-prinsip permusyawaratan; kedua, menegakkan keadilan; dan ketiga, menjamin kebebasan warga negara (alhurriyah).
Ketiga prinsip ini sangat krusial untuk menjadikan negara sebagai elemen yang dapat terakomodir dengan baik. Dengan adanya prinsip-prinsip tersebut, warga masyarakat dalam suatu negara akan merasakan ketentraman, kenyamanan, dan perdamaian.
Saat prinsip permusyawaratan diterapkan, pemerintah akan meninjau masalah masyarakat melalui musyawarah mufakat, menghasilkan kesepakatan yang diterima seluruh lapisan masyarakat. Prinsip keadilan memastikan pemerintah mengutamakan keadilan yang setara, mengesampingkan kepentingan pribadi, sehingga warga negara merasa makmur.
Sedangkan prinsip kebebasan memungkinkan masyarakat menyuarakan aspirasi atau mengkritik pemerintah dengan aman.
Dengan demikian, persoalan kontemporer akan lebih mudah diselesaikan dan mencapai solusi yang tepat.
Ketiga prinsip ini mencerminkan unsur-unsur keislaman yang sangat dijunjung dalam Islam. Permusyawaratan mencerminkan semangat musyawarah dan mufakat untuk kemaslahatan umat.
Prinsip keadilan menegaskan pentingnya pemerataan hak tanpa memandang latar belakang. Sedangkan kebebasan dalam Islam mencakup hak untuk menyampaikan pendapat dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, asalkan sesuai dengan nilai moral dan agama.
Ketiga prinsip ini relevan baik dalam konteks negara modern maupun ajaran Islam yang mengutamakan kesejahteraan dan kedamaian umat.
Dalam praktik bernegara yang mengedepankan unsur-unsur keislaman, Gus Dur, yang merupakan seorang kyai terkemuka di Indonesia, jelas memiliki pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam dan berusaha keras untuk menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
[halamna]
Sebagai seorang pemimpin yang memperjuangkan nilai-nilai keislaman dalam konteks sosial-politik, Gus Dur menekankan tiga prinsip tersebut dalam bernegara, yang sejatinya sangat selaras dengan ajaran-ajaran Islam.
Ketiga prinsip tersebut bukan hanya sekadar wacana politik, tetapi merupakan nilai yang terkandung dalam Al-Qur'an dan sunnah.
Salah satu contoh yang menggambarkan hal ini dapat ditemukan dalam firman Allah SWT dalam Surah Ali Imran, yang berbunyi: "Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal."(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 159)
Ayat ini menekankan pentingnya sikap lemah lembut, permusyawaratan, serta keteguhan hati setelah berusaha untuk mencapai keputusan yang terbaik. Dalam konteks negara, prinsip ini mengajak pemerintah untuk selalu mendahulukan musyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh bangsa.
Ketika suatu keputusan telah diputuskan melalui proses musyawarah, maka harus ada keteguhan hati untuk melaksanakannya dengan tawakkal kepada Allah SWT, yang menandakan adanya kedewasaan dalam mengambil keputusan yang berlandaskan pada prinsip keadilan dan kebebasan.
Gus Dur, sebagai ulama, memahami pentingnya keterbukaan dan kolaborasi dalam pemerintahan. Prinsip permusyawaratan dalam Islam tercermin dalam ajaran untuk melibatkan rakyat dalam setiap kebijakan agar tercipta keputusan yang adil dan diterima semua lapisan masyarakat.
Keberanian Gus Dur memadukan nilai-nilai keislaman dengan kehidupan bernegara menunjukkan bahwa ajaran Islam dapat menjadi dasar yang kokoh untuk membangun negara yang adil, sejahtera, dan damai.
Meskipun demikian, dalam pembukaan UUD 1945 terdapat doktrin mengenai keadilan dan kemakmuran, namun tidak ada doktrin yang menyatakan bahwa negara harus berbentuk negara Islam secara formalis. Begitu pula dengan pelaksanaan kenegaraannya, yang tidak mengarah pada penerapan hukum Islam secara ketat.
Dalam perspektif Gus Dur, negara sejatinya adalah Al-Hukum, yakni hukum atau aturan yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, Gus Dur berkeinginan untuk tidak memformalkan Islam sebagai ideologi atau acuan tunggal dalam negara.
[halamna]
Pandangan inilah yang menjadikan Gus Dur sebagai tokoh kontroversial, karena pandangannya ini bertentangan dengan sebagian besar warga negara Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Selain itu, Gus Dur juga dikenal sebagai tokoh yang sangat toleran, terutama terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia. Beliau mengambil langkah penting dengan mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan orang-orang Tionghoa untuk melaksanakan praktik ajaran agama mereka secara terbuka, yang pada waktu itu masih dilarang oleh sebagian pihak.
Langkah ini memungkinkan masyarakat Tionghoa untuk menjalankan ibadah mereka secara terang-terangan di depan publik, sebuah bentuk kebebasan beragama yang sebelumnya terbatas.
Dari hal ini, penulis melihat bahwa Gus Dur berupaya menjadikan Indonesia sebagai negara yang damai di tengah keberagaman atau pluralisme masyarakatnya. Beliau menginginkan Indonesia sebagai negara yang bisa mengakomodasi keberagaman suku, ras, bahasa, adat istiadat, budaya, dan agama, sambil tetap menjaga kesejahteraan dan kedamaian.
Gus Dur percaya bahwa keberagaman ini bukanlah penghalang, melainkan kekuatan yang dapat memperkaya kehidupan berbangsa dan bernegara, asalkan diterapkan dengan prinsip-prinsip toleransi, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Kesimpulannya, Gus Dur dengan pemikiran progresif dan tolerannya mengajukan pandangan mendalam tentang hubungan agama dan negara. Meski Islam tidak memiliki doktrin negara formal, Gus Dur menekankan prinsip permusyawaratan, keadilan, dan kebebasan dalam kehidupan bernegara.
Ketiga prinsip ini selaras dengan ajaran Islam yang mengutamakan keadilan sosial, kebebasan berpendapat, serta upaya mewujudkan negara damai dan sejahtera. Gus Dur juga menunjukkan toleransi tinggi terhadap kelompok minoritas, mencerminkan komitmennya terhadap pluralisme dan kebebasan beragama.
Pemikirannya menegaskan bahwa keberagaman adalah kekuatan dalam membangun negara yang adil dan damai. (int)