“Berdasarkan kenyataan bahwa untuk sortir surat itu, kalau tanpa angka itu lebih sulit, karena itu dibantu dengan penomoran-penomoran. Nah penomoran itu namanya kode pos,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, Marsoedi mengusulkan penerapan sistem kode pos di Indonesia ke direksi Perum Pos dan Giro serta presiden Indonesia saat itu, Suharto, pada 1980. Kala itu, dia menjabat sebagai Kepala Pusat Perencanaan Pos Perum Pos dan Giro.
Usulan itu akhirnya disetujui dan Marsoedi mulai merancangnya pada Mei 1981, dengan mempelajari sistem kode pos yang telah diterapkan di dunia, seperti di Belanda, Italia, Jepang, dan Prancis.
Pada 1981 hingga 1982, Marsoedi belajar tentang pos selama setahun di Lyon, Prancis. Setahun kemudian, pada 7 September 1982, kode pos rancangan Marsoedi mulai diterapkan di internal Perum Pos dan Giro.
Tepat setahun sesudahnya, penerapannya diperluas untuk wilayah DKI Jakarta. Baru pada 1 Agustus 1985, sistem kode pos yang diciptakan Marsoedi mulai digunakan di seluruh Indonesia.
Marsoedi menciptakan sistem kode pos di Indonesia adalah untuk mempermudah kerja petugas pos. “Kalau tanpa nomor, orang tidak akan tahu untuk ke mana surat itu akan dikirim. Saya tetapkan dengan lima angka, maka petugas akan bisa menyortir surat itu tujuannya ke mana,” ujar Marsoedi.
Lantas, mengapa kode pos di Indonesia terdiri dari lima angka? Marsoedi menjawab: “Karena Indonesia itu luas sekali. Kalau kurang dari lima, sortir suratnya akan lebih sulit. Karena itu, dengan menyortir angka, orang akan lebih mudah menyortir suratnya. Petugas diberi tahu caranya menyortir surat itu. Dia harus hafal dulu angka-angka itu ditujukan ke mana.” (int)