SURABAYA, PustakaJC.co - Sunan Giri merupakan tokoh Wali Songo yang juga raja sekaligus guru suci (pandhita ratu), yang berperan dalam mengembangkan dakwah Islam di Nusantara melalui kekuasaan dan perdagangan.
Sunan Giri membangun pendidikan dengan menerima murid-murid dari berbagai wilayah di Nusantara. Berdasarkan catatan sejarah, jejak dakwah Sunan Giri serta garis keturunannya tersebar ke berbagai daerah. Di antaranya Banjar, Martapura, Pasir, Kutai di Kalimantan, Buton, Gowa di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara, dan Kepulauan Maluku.
Kisah Sunan Giri:
1. Asal-Usul dan Nasab Sunan Giri
Serat Walisana mencatat asal-usul Sunan Giri melalui tembang macapat langgam pucung pupuh V bait 20-25. Sunan Giri merupakan putra dari pasangan Maulana Ishak atau Sayid Yakub yang bergelar Pangeran Raden Wali Lanang dan Dewi Sekardadu atau Retno Sabodi.
Menurut Babad Tanah Jawi maupun Serat Walisana, Sunan Giri memiliki garis keturunan Raja Blambangan. Bahkan, nama 'Giri' digunakan dalam penamaan daerah kediamannya di Gresik.
Sumber tersebut juga mengungkap upaya dakwah yang dilakukan Maulana Ishak atas arahan Sunan Ampel ke Blambangan, mengalami kegagalan karena diusir oleh sang mertua ketika diminta memeluk agama Islam dan meninggalkan keyakinannya yang lama.
Maulana Ishak pergi meninggalkan istrinya yang sedang hamil tua. Sampai akhirnya, Retno Sabodi meninggal dunia setelah melahirkan seorang anak laki-laki.
Di waktu yang bersamaan, Blambangan diterpa wabah besar. Seorang penguasa Blambangan menduga bahwa kelahiran putra Maulana Ishak berkaitan dengan wabah tersebut.
Lalu, bayi laki-laki itu diletakkan di dalam peti dan dihanyutkan ke tengah laut. Sampai akhirnya peti itu tersangkut di kapal milik Nyai Pinatih yang tengah melakukan pelayaran ke Bali.
2. Pendidikan dan Pengembangan Keilmuan Sunan Giri
Dikisahkan Nyai Pinatih adalah seorang janda kaya raya di Gresik yang berasal dari keturunan penguasa Lumajang. Bayi itu dijadikan sebagai anak angkat dan diberi nama Jaka Samudra.
Setelah beranjak dewasa, Jaka Samudra pergi ke Ampeldenta untuk menuntut ilmu dari Sunan Ampel. Kemudian sesuai arahan dari Maulana Ishak, Sunan Ampel mengganti nama Jaka Samudra menjadi Raden Paku.
Raden Paku menjalin pertemanan dengan Raden Mahdum Ibrahim atau Sunan Bonang. Menurut Babad Tanah Jawi, keduanya pernah berkeinginan menuntut ilmu sekaligus berhaji ke Mekah. Namun, sesampainya di Malaka, keduanya dipertemukan dengan Maulana Ishak, ayah kandung dari Raden Paku.
Maulana Ishak mengajarinya perihal berbagai ilmu keislaman, termasuk ilmu tasawuf dengan aliran Tarekat Syathariyah. Setelah menuntut ilmu, Maulana Ishak menyarankan mereka kembali ke tanah Jawa dan mengembangkan dakwah Islam di wilayah tersebut.
Dalam perjalanannya, Raden Paku dibekali segumpal tanah dan dua orang abdi bernama Syaikh Koja dan Syaikh Grigis.
Sesampainya di tempat tujuan, Raden Paku pergi mencari asal tanah tersebut, hingga akhirnya Raden Paku dibawa ke atas bukit yang disebut Giri. Di sana, Raden Paku membangun sebuah masjid, dan mulai menyebarkan dakwah Islam. Karena itu, Raden Paku dijuluki Sunan Giri yang berarti susuhan (guru suci) yang tinggal di Perbukitan Giri.
Raden Paku yang memiliki garis keturunan seorang bangsawan memperoleh didikan sebagai bangsawan tinggi dari Nyi Pinatih, dan sang adik bernama Pangeran Arya Pinatih atau Syaikh Manganti.
Ketika kekuasaan Majapahit terpecah belah, Raden Paku berusaha mempertahankan kemerdekaan wilayahnya dengan mengangkat diri sebagai penguasa wilayah dengan gelar Sunan Giri.
3. Dakwah Sunan Giri
Salah satu bidang dakwah yang dikerjakan oleh Sunan Giri adalah pendidikan. Di bidang tersebut, Sunan Giri menyebarkan dakwahnya dengan cara mengembangkan sistem pesantren yang diikuti para santri dari berbagai daerah di Jawa Timur, Jawa tengah, Kalimantan, Makassar, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Ternate, Tidore dan Hitu.
Selain itu, Sunan Giri juga mengembangkan sistem permainan anak-anak, seperti Padang Bulan, Jor, Gula Ganti, dan Cublak-cublak Suweng.
Bahkan, Sunan Giri menciptakan beberapa tembang tengahan dengan metrum Asmaradhana dan Pucung, yang sangat disukai masyarakat karena berisi ajarah rohani yang tinggi.
Tanpa segan, Sunan Giri menghampiri masyarakat dan menyampaikan ajaran Islam secara langsung. Kemudian, ia mengumpulkan masyarakat dalam satu situasi dengan mengadakan selamatan dan upacara-upacara yang di dalamnya terdapat ajaran Islam, sehingga dapat mudah diterima oleh masyarakat. Perlahan-lahan suasana lingkungan mengikuti ajaran Islam.
Peran Sunan Giri dalam mengembangkan dakwah Islam di bidang pendidikan, politik, dan kebudayaan tidak lepas dari keterkaitannya dengan kebijaksanaan para wali lainnya. Kedudukannya sebagai kepala wilayah suatu kekuasaan politis terlihat dari gelarnya sebagai Prabu Satmata.
Gelar inilah yang menunjuk pada kekuasaan politis. Sedangkan nama Satmata diambil dari nama Dewa Syiwa yang menunjuk sebuah kekuasaan bersifat Syiwais atau ajaran yang paling banyak dianut oleh masyarakat Majapahit.
Dalam bahasa Jawa Kuno, Sunan Giri berarti Raja Giri yang artinya sejalan dengan gelar Girinatha atau nama Dewa Syiwa. Sebutan sunan ini berasal dari kata susuhunan atau sapaan hormat kepada raja yang berarti Paduka Yang Mulia, sekaligus sebutan hormat untuk guru suci yang mempunyai wewenang melakukan diksha (baiat) bagi murid-murid rohaninya.
Pusat pemerintahan Sunan Giri berada di Desa Menganti, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik yang terletak di sebelah utara Desa Menganti. Di Bukit Giri yang pusatnya terletak di Kedhaton, terdapat puri kediaman Sunan Giri bersama keluarganya.
Pemilihan lokasi Kedhaton Giri terjadi pada tahun 1402 Saka atau 1479 Masehi. Pembangunannya terjadi pada tahun 1403 Saka atau 1480 Masehi.
Sunan Giri dipercaya bukan hanya mengembang peran sebagai ulama penyebar Islam, melainkan sosok penguasa politik di wilayahnya atau raja. Sehingga sebutan "Pandhito Ratu" disematkan kepadanya karena memiliki kedudukan ganda. Dengan kedudukan ganda tersebut, Sunan Giri dapat menyebarkan dakwah Islam secara lebih luas.
Dalam buku Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa Peralihan dari Majapahit ke Mataram karya H.J. De Graff dan Th.G.Th. Pigeaud, disebutkan bahwa Sunan Giri dan Nyi Pinatih mempunyai peran penting dalam pembentukan masyarakat penganut ajaran Islam di Gresik. Tindakan keduanya dinilai sebagai suatu upaya menguatkan pusat keagamaan dan kemasyarakatan bagi kepentingan para pedagang Islam.
Melalui kedhatonnya yang berada di Bukit Giri, Sunan Giri menyebarkan dakwah Islam melalui pendidikan masyarakat, dengan memanfaatkan kesenian pertunjukkan yang digemari oleh masyarakat. Sunan Giri tidak hanya menciptakan tembang-tembang dolanan anak-anak, tembang tengahan dengan metrum Asmaradhana dan Pucung, melainkan melakukan perubahan reformatif atas seni pertunjukan wayang.
Sunan Giri berperan dalam melengkapi hiasan-hiasan wayang, seperti kelat bahu (gelang hias di pangkal lengan), gelang, keroncong (gelang kaki), anting telinga, badong (hiasan pada punggung), zamang (hiasan kepala), dan sebagainya. Selain itu, Sunan Giri juga menciptakan lakon-lakon wayang dilengkapi suluknya, seperti Kapi Menda, Kapi Sraba, Kapi Anala, Kapi Jembawan, Kapi Winata, Urahasura, dan sebagainya.
Sunan Giri yang berkedudukan sebagai seorang penguasa sukses membawa kemakmuran bagi masyarakat muslim di Gresik. Hal ini tampak pada masa kekuasaan putranya yang bernama Pangeran Zainal Abidin Sunan Dalem, yang merupakan penguasa Islam tertua di kota-kota pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang menjalin pertemanan dengan Raden Patah dan penguasa Demak Sultan Trenggana.
Puncak kejayaannya ditandai dengan naiknya cucu Sunan Giri bernama Pangeran Pratikha atau Sunan Giri Prapen yang memperbesar kedhaton dan masjid Giri, serta makam Sunan Giri. Hingga mengembangkan dakwah Islam sampai ke Kutai, Gowa, Sumbawa, Bima, dan Maluku.
Sunan Giri dimakamkan di sebuah bukit di Dusun Kedhaton, Desa Giri gajah, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik bersama istrinya. Lokasi ini dijadikan sebagai tempat perziarahan umat Muslim hingga detik ini. (int)