Sunan Ampel juga menggambarkan ajaran bersifat esoteris kepada Sunan Giri, yaitu ilmu tasawuf yang didasarkan pada ilmu qalbu.
Menurut Babad Demak, ajaran Sunan Ampel berangkat dari tiga kata. Di antaranya bi nashrih, tubadil, dan daim dengan kata kunci bi ru'yatil fu'ad yang hanya bisa dipahami melalui mata hati atau mata batin dan inti ajarannya adalah fa ainama tuwallu fatsamma wajhullah. Kabiran alhamdulillah katsiran, fasubhanallahi bukratan wa ashila, inni wajjahtu wajhiya.
Dengan mengajarkan ilmu tasawuf, Sunan Ampel dianggap sederajat dengan para guru suci Syiwais yang berwenang melakukan diksha (baiat) yang diberi sebutan kehormatan 'susuhunan'. Sebutan ini diberikan karena kedudukannya sebagai Raja Surabaya yang berkediaman di Ampel, sehingga menjadi Susuhunan atau Sunan Ampel, dan karena kedudukannya sebagai guru suci di Dukuh Ampel yang mempunyai kewenangan melakukan diksha (baiat kepada murid-murid rohaninya.
Dakwah Islam dilakukan dengan persuasif melalui pendekatan kekeluargaan dan penuh empati. Meski begitu, tidak mudah diterima oleh masyarakat.
Bahkan seorang penguasa Madura bernama Lembu Peteng pernah mengusir dua orang ulama utusan Sunan Ampel, Khalifah Usen dan Syaikh Ishak. Lembu Peteng juga pernah menyamar memasuki kediamannya di Ampeldenta dan berusaha menikamnya dengan sebilah keris. Namun, karena itu Lembu Peteng mau memeluk Islam.
Sunan Ampel juga mendapat tantangan karena sholat dengan gerakan-gerakan ritual yang dianggap aneh. Ia juga dhina karena menolak makan babi dan katak.