SURABAYA, PustakaJC.co - Prof. Dr. Nyai Hj. Istibsjaroh telah berpulang ke rahmatullah pada Rabu, (7/8/2024) lalu. Namun, pemikiran-pemikiran Beliau tetap terukie abadi dalam karya-karya yang telah ditulisnya.
Istibsjaroh adalah salah satu ulama, akademisi, dan politisi yang mempunyai segudang pengalaman dan pengabdian kepada masyarakat. Ia merupakan Dosen dan Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya dan penulis berbagai buku tentang relasi gender. Disertasinya mengangkat konsep relasi gender dalam Tafsir Al-Sya’rawi.
Untuk mengetahui salah satu pemikiran dan kiprah dari Istibsjaroh, bisa dilihat misalnya dari salah satu pandangannya yang cukup dikenal, yakni tentang aborsi dalam perspektif Islam. Dalam bukunya Menimbang Hukum Pornografi, Pornoaksi dan Aborsi Dalam Perspektif Islam, ia menyebutkan bahwa banyak alasan perempuan melakukan aborsi. Alasan tersebut ialah:
Pertama, pada perempuan yang belum atau tidak menikah, alasan melakukan aborsi di antaranya karena masih berusia remaja, pacar tidak mau bertanggung jawab, takut pada orang tua, berstatus janda yang hamil di luar nikah, dan berstatus sebagai simpanan seseorang dan dilarang hamil oleh pasangannya. Kedua, pada perempuan yang sudah menikah, alasannya antara lain karena kegagalan alat kontrasepsi, jarak kelahiran yang terlalu rapat, jumlah anak yang terlalu banyak, terlalu tua untuk melahirkan, faktor sosial ekonomi [tidak sanggup lagi membiayai anak-anaknya dan khawatir masa depan anak tidak terjamin], alasan medis, sedang dalam proses perceraian dengan suami, atau karena berstatus sebagai isteri kedua dan suaminya tidak menginginkan kehadiran anak dari dia.
Istibsjaroh sendiri berpandangan bahwa dari perspektif agama-agama samawai, khususnya Islam, aborsi pada dasarnya adalah tindakan yang dilarang. Namun demikian, Islam mempunyai corak hukum yang lebih fleksibel, sehingga banyak variable yang dipertimbangkan dalam proses penentuan hukum aborsi. Menurutnya, melihat perdebatan yang terjadi, baik dalam Islam maupun dalam hukum positif, tampak bahwa dasar pelarangan aborsi adalah penghormatan kepada kehidupan, khususnya kepada yang bernyawa. Berbagai perangkat hukum, termasuk sanksi-sanksi hukum dirumuskan untuk melindungi kehidupan makhluk bernyawa yang bernama janin. Sayangnya sampai kini persoalan kapan kehidupan dimulai masih menjadi sesuatu yang diperdebatkan oleh para ahli, baik dari kalangan agama maupun medis.
Baginya, nilai-nilai moral yang mendasari seluruh bangunan hukum tentang aborsi, baik hukum agama maupun hukum negara, ternyata mengalami kesulitan penerapan dan perbenturan di tingkat lapangan. Sekalipun secara moral-ideal dan legal-formal aborsi dilarang, toh praktik aborsi menunjukkan angka yang cukup tinggi. Aborsi juga signifikan menyumbang angka kematian ibu akibat proses reproduksi yang tidak aman. Ini semua menunjukkan bahwa pendekatan terhadap masalah aborsi semata-mata dari sudut moral dan hukum tidak cukup.
Ia juga malihat baik hukum positif maupun, terutama, fiqh Islam tidak memasukkan agenda hak-hak reproduksi perempuan, dalam hal ini hak untuk memutuskan hamil atau tidak dan hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang amandalam konsideran hukumnya. Dalam kasus tertentu bahkan hak perempuan ini dinafikan sama sekali. Oleh karen itu, bisa dimengerti jika suara yang menginginkan diberikannya hak ini kepada perempuan kian hari kian nyaring terdengar.
Di tengah dilema antara nilai moral dan tuntutan kebebasan perempuan untuk menjalankan hak-hak reproduksinya [pro-choice] seperti yang terjadi sekarang, sudah saatnya agama Islam menyatakan pendirian yang tegas dengan segala konsekuensinya. Bila pilihan “pro-life” merupakan pilihan terbaik, atau bahkan satu-satunya, maka Islam juga perlu mempersiapkan berbagai perangkat yang mendukung tersosialisasikannya pilihan itu di tengah masyarakat. Misalnya, menyiapkan sikap mental dan sosial masyarakat agar tidak mau melakukan aborsi, mensosialisasikan sikap bisa menerima anak yang lahir dari kehamilan yang tidak dikehendaki, dan membuat sistem sosial yang siap dengan segala resiko pilihan sikap “pro-life”. Agama dan hukum tidak boleh ambigu, sebab ambiguitas seperti ini terbukti tidak menyelesaikan persoalan.
Mempertimbangkan itu semua, Istibsjaroh berpandangan bahwa aborsi yang dilakukan oleh pasangan yang di luar nikah dalam Islam menurut pendapat para Imam adalah "haram mutlak". Sementara itu dalam kasus yang sudah pasangan yang sudah menikah hukum yang berlaku adalah "kondisional" dalam artian tergantung situasi yang berlaku tersebut. (int)