Jabat tangan yang dimaksud dari hadits itu menurut Kiai Miftach, sapaannya, tentu masih dalam garis yang yang diatur oleh syariat, yakni dengan tetap memperhatikan batas kebolehan dan tidaknya berjabat tangan. Seperti bersalaman dengan sesama jenis, pasangan suami-istri atau dengan mahramnya.
"Laki sesama laki perempuan sesama perempuan, bisa laki dengan perempuan tapi mahram. Atau suami dengan istri, anak dan ibunya. Dengan saudara-saudaranya," urai Kiai Miftach.
Pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya ini kemudian menjelaskan bahwa adab berjabat adalah saling memegang tangan dengan cukup lama, bukan sekadar mempertemukan ujung jari satu dengan yang lainnya, kemudian seketika itu juga dilepaskan.