“Tuhan itu punya rencana, nggak mungkin tidak, dan rencana Tuhan itu pasti baik. Ayo kita berjuang bersama-sama.”
Begitu kata Prof. Theresia Indah Budhy Sulisetyawati atau yang akrab disapa Prof. There mengenang kalimat yang diucapkan dosen pembimbing S3 nya. Ya, lima belas tahun lalu tanpa diduga, dokter memvonisnya mengidap kanker, penyakit yang belum ada obatnya di dunia ini.
Oleh: Permata Ayu
Kala itu, ketika diagnosa menyatakan ada sel kanker yang bersarang di tubuhnya, There sedang mengenyam pendidikan strata tiga (S3) di Universitas Airlangga. Ironisnya, kanker merupakan bahan risetnya, bahkan sejak ia menempuh pendidikan strata satu (S1).
There mengisahkan betapa ia ingin belajar tentang kanker dan seluk beluknya karena penyakit inilah yang telah mengambil orang-orang yang disayanginya. Kakek, nenek, ayah, ibu, dan bibi nya berpulang karena penyakit kanker.
“Bukan main terkejutnya saya kala itu. Ini penyakit yang saya pelajari sejak S1, penyakit yang telah merengut orang-orang yang saya sayangi, dan ternyata, saya pun didiagnosa kanker,” katanya.
Meskipun There sangatlah paham tentang kanker, ia tetaplah manusia biasa. Di awal dokter menyatakan dirinya mengidap kanker, iapun juga terpuruk. Teman-teman dan saudaranya menyarankan ia untuk segera menempuh jalur medis, yaitu operasi dan kemoterapi, namun hati dan pikiran There menolak. Ia jelas tahu kalau sel kanker dalam dirinya diangkat kemudian dia menjalani kemoterapi untuk mematikan sel kanker itu, bukan hanya sel kanker yang akan mati, tetapi sel-sel lainnya pun ikut mati. Setelah itu, secara perlahan, akan muncul penyakit baru dalam tubuhnya sebagai akibat matinya sel selain sel kanker.
Kondisi ini membuat There seolah kehilangan dunianya. Pikiran-pikiran negatif pun mulai bermunculan di kepalanya. Tak ada lagi gairah dan semangat hidup. Tak ada lagi tawa bahagia menghiasi wajahnya. Yang tersisa adalah senyum getir keputusasaan.
“Orang bilang, penyakit itu harus dihadapi dengan hati bahagia. Tapi, saya benar-benar terpuruk, putus asa. Dan itu membuat saya menarik diri dari kehidupan sosial. Saya mengurung diri di rumah, tak berani keluar dan mendengar orang-orang yang terus menanyakan kondisi saya, meminta saya untuk operasi dan kemo. Saya benar-benar merasa sudah diujung kematian,” katanya.
Di tengah keterpurukan itu, There beerkonsultasi dengan dosen pembimbing S3 nya.
“Beliau berkata, Tuhan itu punya rencana, nggak mungkin tidak, dan rencana Tuhan itu pasti baik. Ayo kita berjuang bersama-sama. Kamu tahu penyakit ini, kamu paham cara mencegahnya, ayo, jangan menyerah, Tuhan pasti punya rencana baik untukmu,” kenang Dosen Patologi Unair ini.
Setelah bertemu dengan dosen pembimbingnya itu, muncul semangat dalam diri There. Berbekal pengetahuan yang ia kuasai, ia berjuang untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Meski ia tahu, penyakit ini belum ada obatnya dan tidak akan sembuh.
There memulai langkah awal perjuangannya melawan kanker dengan menghentikan asupan makanan bagi sel kanker, yaitu gula dan lemak. Apa yang kemudian dilakukan? Ia melakukan detoks makanan yang dikonsumsinya. Detoks ini ia lakukan selama enam bulan. Ketat dan tanpa ada kompromi.
Enam bulan berselang, There kembali menjalani pemeriksaan. Dan atas kuasa Tuhan, pemeriksaan menyatakan jika sel kanker dalam tubuhnya mulai mengalami penyusutan.
“Setelah itu, saya sangat bersyukur. Kemudian saya perketat lagi detoks saya, hingga pada pemeriksaan selanjutnya, yaitu setahun berikutnya, sel kanker dalam tubuh saya yang semula 4cm menyusut jadi 2cm.” ungkapnya.
Meskipun hasil baik telah ia terima, There tetap melanjutkan detoksnya. Ia mengatakan pola hidup seperti ini harus dijalani seumur hidup. Karena, sel kanker masih bersarang dalam tubuhnya meskipun mengalami ‘mati suri’. Jika tidak dijaga, besar kemungkinan sel itu kembali aktif dan jauh lebih ganas dibandingkan sebelumnya.
Di tahun kelima ia menjalani pola hidup detoks, There pun mendapatkan kepercayaan dirinya. Dia bisa menjadi surviver dan pastinya ia juga bisa membantu orang lain yang sakit kanker untuk bisa berjuang dan menjadi surviver sepertinya.
Untuk mewujudkan harapannya membantu orang itu, bersama beberapa penyitas kanker lainnya, There mendirikan sebuah yayasan pediuli kanker.
CAC atau Cancer Awarness Community merupakan sebuah yayasan peduli kanker independen yang didirikan oleh Prof. There bersama beberapa temannya. Yayasan ini didirikan tahun 2015 dan berlokasi di Surabaya. Di awal berdiri, Yayasan ini menempati sebuah rumah di Jalan Baliwerti Surabaya, kemudian karena sesuatu hal, pindah ke daerah Karangmenjangan dan kini menempati rumah baru di Kedung Sroko, belakang gedung IDI (Ikatan Dokter Indinesia) Unair.
Yayasan ini didirikan khusus untuk penderita kanker dari kalangan anak-anak dan remaja, dengan rentang usia dibawah 18 tahun. Latar belakang yayasan ini didirikan dengan tujuan untuk membantu para penderita kanker ini agar bisa survive menghadapi penyakit yang belum ada obatnya ini.
“Ternyata, apa yang dikatakan dosen pembimbing saya itu benar. Tuhan punya rencana baik untuk saya dengan memberikan saya penyakit kanker. Kini, saya bisa berbagi, membantu, dan memberi manfaat bagi para penderita kanker untuk bisa berjuang mengalahkan penyakit yang dikatakan ganas ini,” pungkasnya.
Ingin tahu pola hidup detoks yang dijalani Prof. Theresia seperti apa? Tunggu cerita There di tulisan berikutnya.