Kiai Ashiem melepas masa lajangnya dengan menikahi putri Syekh Ali Ar-Rahbini (keturunan Mesir), pengasuh Yayasan Sosial dan Pendidikan Islam Syekh Ali Al-Rahbini (Yasira) Gondanglegi, Malang. Dari hasil pernikahananya dengan Nyai Maysaroh, lahirlah Fathimah Al-Batoul, Ach Naufal, Waznah Al-Asoul, Afaf Al-Atouf, Maryam Al-Hanun, Mohammad Ilyas (wafat saat bayi), Lubna An-Najoud, Grace Faycha, Rabi'ah Al-Adawiyah.
Sebelum kembali ke tanah kelahirannya di Guluk-Guluk, ia tinggal di Mayang, Jember bersama putra-putrinya. Di sana Kiai Ashiem mendirikan Pesantren Tanjung Emas. Setibanya di Annuqayah, ia lalu mendirikan pesantren daerah yang diberi nama Al-Anwar Kebun Jeruk. Selain menjadi pengasuh pesantren daerah, ia juga mengajar di Madrasah Aliyah (MA) Annuqayah bersama saudara kandungnya.
Bahkan Kiai Ashiem diamanahi sebagai Rektor Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Annuqayah (STISA) sejak tahun 1986-1997 (kini beralih nama menjadi Instika). Pada Senin 27 Dzul Hijjah 1417 bertepatan 05 Mei 1997, Kiai Ashiem wafat. Asal mula lambang Tebuireng Diceritakan Ny Fathimah Al-Batoul, sebelum ayahnya membuat lambang Tebuireng, Kiai Ashiem muda memenangkan sayembara yang dihelat oleh perusahaan Susu Cap Nona. Ia mendapat hadiah 1 upeti susu, yang kemudian dijual hingga laku Rp265.