Tokoh

Rani Tribuana

Raja Majapahit, Penakluk, dan Pencetak Pemimpin Ulung

Raja Majapahit, Penakluk, dan Pencetak Pemimpin Ulung
Dok tirto

Langit Mojokerto membiru dengan semburat awan putih. Lahan persawahan menghijau membentang di Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto.

 

Di antara lahan persawahan dan lapangan sepak bola, telah tersingkap struktur bangunan kuno. Pada bagian tengah terdapat struktur yang lebih tinggi sekitar 2 meter. Di atasnya ada Yoni setinggi 120 sentimeter, panjang 190 sentimeter, dan lebar 184 sentimeter. Yoni itu terbuat dari batu andesit hitam lengkap dengan ukiran langgam Majapahitan dengan kepala naga di bagian bawah.

 

Oleh: Intan 

 

Sebelahnya terdapat sandaran arca setinggi 200 sentimeter. Kondisinya telah rusak. Di baliknya terdapat bentuk lotus yang jadi ciri kesenian zaman Majapahit. Juga ada hiasan seperti payung. Baik yoni maupun sandaran arca kini masih duduk berdekatan di atas struktur bujur sangkar dari tatanan batu andesit.

 

Yoni berbentuk persegi itu memiliki angka tahun di sisinya. Bertarikh 1372 masehi atau 1292 Saka. Menurut ahli, tahun tersebut bertepatan dengan masa kematian Raja Ketiga Majapahit yakni Tribhuana Tunggadewi. Area tersebut kemudian dipercaya menjadi tempat pendharmaan Rani Tribuana-sebutan masa kecil cucu pendiri Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya atau Kertarajasa Jayawardhana itu. Warga setempat pun menyebut lokasi itu Situs Tribuana Tunggadewi.

 

Tersingkapnya struktur tersebut tak lepas dari upaya ekskavasi oleh Badan Pelestarian Kebudayaan (BPK) XI Jawa Timur yang dinaungi Kemendikbudristek RI. Sebelum ekskavasi diawali observasi pada 2018. Observasi itu bertujuan membuka struktur yang ada kemudian diberi cungkup pelindung.

 

’’Tujuannya untuk mengetahui struktur asli situs. Karena diduga dulunya merupakan tempat pemujaan dengan kondisi bangunan tertentu. Ini juga terkait pemberian rekomendasi atas rencana pembangunan cungkup di sini (Situs Tribuana Tunggadewi atau Situs Bre Kahuripan,’’ ujar Pahadi, koordinator peneliti BPCB Trowulan kala 2018.

 

Seiring observasi dan ekskavasi dilakukan, ternyata terdapat temuan-temuan terkait struktur kuno di area tersebut. Hingga November 2022, BPK XI Jawa Timur telah melangsungkan ekskavasi tahap kelima. Hasilnya, luar biasa. Terdapat temuan struktur bangunan yang melingkupi area tersebut. Bahkan, diduga tersambung dengan area reruntuhan bangunan kuno 300 meter sebelah barat situs Klinterejo yang sering pula disebut Situs Tribuana Tunggadewi tersebut.

 

Temuan struktur bata dan umpak batu banyak ditemukan di area Barat ke Timur sepanjang sekitar 300 meter. Ada struktur yang diduga tempat pemukiman, mandapa, hingga pintu gerbang menuju situs. Selain itu, temuan berupa koin kuno, pecahan gerabah terakota, keramik, hingga genting kuno banyak tersebar di beberapa titik.

 

Di area sumuran di bawah batu Yoni, arkeolog juga menemukan lempeng emas berbentuk kura-kura. Diduga, itu bagian dari peripih candi yang berfungsi sebagai medium spiritual pada tiap candi. Ada pula temuan celengan kuno berbentuk babi pada area lain.

 

Sampai kini, ekskavasi masih dilakukan Badan Pelestarian Kebudayaan (BPK) XI Jawa Timur. Seiring itu pula, temuan berupa struktur bata kembali ditemukan. Terdapat struktur pondasi yang diduga milik tembok suatu bangunan. Dengan ketebalan tembok lebih dari satu meter. Lokasinya berada di area lapangan sepak bola sebelah barat situs Tribuana Tunggadewi.

 

Adanya temuan tersebut, kian menarik minat peneliti untuk memeriksa lebih lanjut. Bahkan, temuan itu kembali memunculkan prasangka bahwasannya area tersebut tidak sekedar berupa tempat pendharmaan raja atau bangunan suci belaka. Melainkan, sebuah area kompleks pemukiman atau bahkan istana seorang pembesar/bangsawan Kerajaan Majapahit.

 

Tinggalan arkeologis zaman Majapahit itu tak pelak kian meneguhkan cerita tentang Raja Ketiga Majapahit, Tribuana Tunggadewi ketika memerintah 6 abad yang lalu. Bahwa, sosok raja memiliki tempat pendharmaan yang berhias ukiran dan arca berkualitas tinggi. Juga, area bangunan yang disucikan yang luas disertai bangunan pemukiman di sekitarnya.

 

Tribuana Tunggadewi adalah anak Dyah Wijaya (1293-1309 M) atau yang akrab disebut Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Perempuan cantik itu dilahirkan dari rahim istri Raden Wijaya yang bernama Gayatri Rajapatni. Jadi, Tribuana adalah cucu dari Kertanegara (1268-1292 M), raja terakhir Kerajaan Singasari.

 

Tribuana memiliki nama kecil Dyah Gitarja. Namun, nama tersebut sebenarnya tidak dikenal di sumber sejarah. Dalam prasasti Geneng II menyebutkan nama kecil sang rani adalah Dyah Tya. Pada Kitab Pararaton, Tribuana disebut Bre Kahuripan. Itu dikarenakan sebelum menjadi Rani, Tribuana berkuasa atas wilayah kahuripan yang merupakan daerah bawahan Majapahit.

 

Dalam Kitab Negarakertagama menyebutkan, Tribuana sebenarnya mempunyai saudara lain ibu yakni Jayanegara. Dan juga punya saudari kandung yang bernama Dyah Wiyat. Hanya saja, ketika Jayanegara menjadi raja kedua Majapahit, dia melarang Tribuana dan adiknya dilarang menikah. Bahkan, akan mengawini keduanya agar tampuk kekuasaan tidak bisa berpindah dari tangan Jayanegara.

 

Jalinan nasib berkata lain. Jayanegara mati dibunuh tabib istana, Ra Tanca ketika mengobati bisul sang raja. Tabib itu balas dendam kepada Jayanegara karena pernah melecehkan istrinya. Alhasil, kekuasaan Jayanegara berakhir pada 1328.

 

Tahta Majapahit pun jatuh ke tangan Gayatri. Lantaran, dia menjad satu-satunya istri Raden Wijaya yang masih hidup. Meski begitu, Gayatri menolak lantaran sudah memilih jalan hidup sebagai Bhikuni. Ia lantas memilih anaknya sulungnya menjadi raja Majapahit. Pada 1328, Raja Majapahit diampu Tribuana Tunggadewi dengan gelar Sri Tribhuwana Tunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.

 

Menjadi raja, Sang Rani memahami kerajaan banyak dirong-rong pemberontakan. Masa Raja Jayanegara, beberapa kali Majapahit diterpa pemberontakan oleh pembesar kerajaan. Tiga tahun setelah diangkat menjadi raja, Sang Sari menyerang Keta dan Sadeng. Dua daerah bawahan Majapahit yang kerap kali mengobarkan api pemberontakan.

 

Dua wilayah di sisi timur Jawa tersebut memiliki posisi strategis lantaran berupa daerah pesisir dengan pelabuhan penting. Sang Rani disebutkan turun langsung pada medan laga. Memimpin penggempuran didampingi Gajah Mada. Akhirnya dua daerah itu berhasil ditaklukkan. Kisah penaklukan itu berbuah pengangkatan Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit.

 

Dalam Kitab Pararaton, Gajah Mada disebutkan mengucapkan sumpah palapa ketika dilantik menjadi mahapatih. Pengangkatan Gajah Mada menjadi mahapatih tak lepas dari saran Gayatri selaku dewan penasehat raja. Yang mana mengetahui peran Gajah Mada dalam masa lalu, termasuk ketika mampu menyelamatkan Raja Jayanegara saat keraton digempur pemberontak Ra Kuti.

 

Kiprah Raja Tribuana Tunggadewi amat besar dalam perluasan wilayah Majapahit. Seiring pula dengan sumpah palapa yang diucapkan Gajah Mada, Sang Rani mendorong perluasan wilayah ke Bali, Malaka, Tanjungpura, Dompu, dan daerah lainnya hingga Papua.

 

Pola penaklukkan demikian tak lepas dari saran Gayatri. Yang mana ketika ayahnya menjadi Raja Singasari, Kertanegara pernah melakukan hal serupa dengan konsep penyatuan Dipantara. Sang Rani melalui Gajah Mada kembali menaklukkan daerah yang pernah dikuasai oleh Singasari.

 

Penaklukkan daerah dengan pimpinan raja yang turun langsung ke medan laga membawa spirit besar terhadap pasukan. Sang Rani ditemani Gajah Mada mampu membawa kemenangan pada ekspansi wilayah kerajaan. Dia membangun angkatan bersenjata yang mumpuni terutama angkatan laut lengkap dengan kapal-kapal perang besar.

 

Alhasil, penaklukkan daerah yang memiliki potensi ekonomi dan perdagangan membawa kesejahteraan bagi Majapahit. Kian tahun Majapahit kian membesar. Seiring meluasnya wilayah kekuasaan, kian banyak pula upeti yang dikirim ke Majapahit. Kerajaan menjadi makmur.

 

Pada 1350, Gayatri Rajapatni meninggal dunia. Kematian ibu suri itu membuat Sang Rani menerima kehilangan besar. Dirinya pun akhirnya menyerahkan tampuk kekuasaan yang dulunya diberi oleh ibunya. Karena dia merasa gelar raja yang didapatkannya merupakan pemberian ibunya, Gayatri. Ketika sang ibu meninggal, dirinya pun merasa tak pantas lagi menjabat raja Majapahit.

 

Kekuasaan yang didapat Sang Rani tak lantas menjadikannya pemimpin yang otoriter. Dia membagi peran atau tugas menjaga Negara kepada pejabat-pejabat bawahannya. Penunjukkan Gajah Mada menjadi mahapatih merupakan salah satu keputusan strategis Sang Rani. Dia membagi peran kepada Gajah Mada yang teruji kesetiaan dan kemampuan bertempurnya.

 

Penunjukkan Gajah Mada sebagai mahapatih menjadi langkah penting pula bagi perluasan wilayah kekuasaan kerajaan. Bahkan, wilayah kekuasaan Majapahit kian meluas hingga Asia Tenggara. Konsep mandala Majapahit pada pola pengelolaan wilayah kekuasaan menjadikan kerajaan tangguh sekaligus memberi otonomi pada wilayah yang dikuasai.

 

Dalam Kitab Pararaton, usai Gayatri meninggal, Tribuana kemudian menyerahkan tahta kepada putranya, Hayam Muruk. Raja yang masih muda itu hasil perkawinan Sang Rani dengan Cakradhara yang merupakan Bre Tumapel. Hayam Muruk sebelum diangkat raja adalah pemimpin daerah Kahuripan sehingga mendapat jabatan Bre Kahuripan.

 

Dalam darah Hayam Muruk masih memiliki dua trah penting, yakni trah Kahuripan dari Raden Wijaya dan trah Singasari dari ayahnya Cakradhara yang merupakan Bre Tumapel. Sehingga, penyatuan dua trah dalam Hayam Muruk tak pelak membuat raja muda itu mendapat kepercayaan yang tinggi dari rakyat maupun Negara bawahan Majapahit.

 

Penunjukkan Hayam Muruk sebagai Raja Majapahit oleh Sang Rani rupanya tepat. Pada kepemimpinan Hayam Muruk, Majapahit dibawa menjadi masa keemasannya. Majapahit kian membesar dan memiliki kemakmuran bagi Negara dan rakyatnya. Dan itu juga tak lepas dari mentor Sang Rani yang menjadi Dewan Pertimbangan Agung Raja selama Hayam Muruk menjadi raja Majapahit.

 

Sang Rani akhirnya tutup usia pada 1371. Dalam Kitab Pararaton, Tribuana disebutkan dicandikan di Pantarapura, Panggih, Trowulan. Tempat pendarmaan itu dipercaya berada di Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto. Lokasi itu dipercaya yang sekarang ini tengah diekskavasi Badan Pelestarian Kebudayaan (BPK) XI Jawa Timur sejak 2018.

 

Tengara itu tak lepas dari keberadaan Yoni berukuran besar dengan tarikh 1372. Bentuk yoni yang memiliki ragam kaya dan besar rasanya pantas sengaja dibuat untuk seorang raja besar. Terlebih, temuan yang didapatkan selama ekskavasi, rupanya terdapat struktur bata, pemukiman kuno, dan cagar budaya lain yang menunjukkan lokasi tersebut sebuah kompleks yang penting pada masa lalu.

 

Hasil ekskavasi BPK XI tahap V pada 2022 menyebutkan situs Bre Kahuripan tersebut nyatanya memiliki keterkaitan dengan situs Klinterejo yang berjarak 300 meter sebelah barat. Di sekitarnya juga ditemukan struktur mandapa/pendapa, permukiman kuno, dan ruang pelinggih/peribadatan lainnya. Setidaknya terdapat empat sektor yang diidentifikasi arkeolog yakni sektor Tribuana Tunggadewi, sektor lapangan, sektor Klinterejo, dan sektor putuk.

 

Tahun depan, ekskavasi bakal dilanjutkan. Upaya penyelamatan cagar budaya dari zaman Majapahit itu dihadapkan mendapatkan gambaran pola keruangan dan komponennya. Dengan begitu, bisa merekonstruksi pola tinggalan arkeologis di Situs Bre Kahuripan yang berada dalam Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Trowulan tersebut. Sehingga khazanah pengetahuan tentang Tribuana Tunggadewi dapat membawa pencerahan bagi bangsa dan Negara.

Baca Juga : Menteri Agama di Kabinet Prabowo-Gibran
Bagikan :