Fransiskus Xaverius Basuki Abdullah (ejaan lama: Basoeki Abdullah; 25 Januari 1915 – 5 November 1993) adalah salah seorang maestro pelukis Indonesia. Ia dikenal sebagai pelukis aliran realis dan naturalis. Ia pernah diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai pelukis Istana Merdeka, Jakarta, dan karya-karyanya menghiasi istana-istana negara dan kepresidenan Indonesia, di samping menjadi barang koleksi di penjuru dunia.
Oleh: Intan Permata
Bakat melukisnya terwarisi dari ayahnya, Abdullah Suriosubroto, yang juga seorang pelukis dan penari. Sedangkan kakeknya adalah seorang tokoh Pergerakan Kebangkitan Nasional Indonesia pada awal tahun 1900-an yaitu Doktor Wahidin Sudirohusodo. Sejak umur 4 tahun Basuki Abdullah mulai gemar melukis beberapa tokoh terkenal diantaranya Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, Yesus Kristus dan Krishnamurti.
Basuki Abdullah terkenal sebagai seorang pelukis potret, terutama melukis wanita-wanita cantik, termasuk yang menampilkan keindahan tubuhnya, dan juga potret tokoh - tokoh terkemuka. Berbagai citra keindahan yang romantis itu diungkapkan dengan teknis realis yang kuat. Selain sebagai pelukis potret yang ulung, dia pun melukis pemandangan alam, fauna, flora, tema-tema perjuangan, pembangunan dan sebagainya.
Jika dulu ada yang namanya ‘pejuang cinta’, Basoeki Abdullah mestinya termasuk salah satunya. Jika sudah merasa jatuh cinta pada seorang wanita, biasanya Basoeki pantang mundur. Suatu hari pada 1955, Basoeki berkunjung ke Jepang. Ada satu pekerjaan yang harus dia garap.
Di pinggir Kota Tokyo, dia berkenalan dengan seorang gadis Jepang. Namanya Seiseto Arima. Gadis itu mengagumi sketsa-sketsa karya seniman kelahiran Solo, Jawa Tengah, itu. Kala itu, cucu tokoh pergerakan nasional Dr Wahidin Soedirohoesodo ini sebenarnya bukan lagi pemuda lajang. Bahkan dia sudah dua kali menikah. Keduanya dengan perempuan Belanda. Pernikahan Basuki dengan Josephine kandas setelah mereka punya satu anak, Saraswati.
Pernikahan keduanya dengan Maria Michel, meski belum membuahkan anak, sudah bertahan sepuluh tahun. Maya—panggilan Basoeki untuk Maria—curiga, ada apa-apa antara suaminya dan Seiseto. Meski bukan laki-laki yang suka bertingkah kurang ajar, Basoeki memang suka pada perempuan cantik. Hubungan mereka yang memang mulai renggang tak bisa dipertahankan lagi. Maya minta pisah dan pulang kembali ke Belanda.
Basoeki, meski Maya sudah memperingatkannya agar tak melanjutkan hubungan dengan Seiseto, malah makin asyik-masyuk dengan gadis Jepang itu. Bahkan dia berniat memperistri Seiseto. Sebelum resmi melamar gadis itu, Basoeki pulang dulu ke Jakarta untuk ‘berkonsultasi’ dengan sahabat lamanya: Presiden Sukarno. “Hubungan Bapak dengan Presiden Sukarno memang sangat dekat, seperti konco banget. (Presiden Sukarno) lagi rapat saja bisa berhenti kalau bapak saya datang,” kata Cecilia Sidhawati, putri bungsu Basoeki, kepada detikX beberapa waktu lalu.
Basoeki datang ke Istana Bogor dengan membawa foto Seiseto. “Ya, kawinilah sana. Itu urusanmu,” kata Presiden Sukarno kepada Basoeki, dikutip Agus Dermawan dalam bukunya, Basoeki Abdullah: Sang Hanoman Keloyongan, sembari terbahak. “Kalau jadi, Bapak bersedia jadi wali?” Basoeki kembali bertanya. “Mau,” jawab Bung Karno tanpa banyak pertimbangan lagi. Pernikahan itu batal sebelum pelaminan disiapkan. Orang tua Seiseto merasa keberatan putrinya menikah dengan orang Indonesia. Basoeki, yang sudah berkabar kepada sanak-saudara, patah hati. Dia memilih ‘bersembunyi’ di Singapura.
Bagaimana nekatnya Basoeki ‘mengejar’ Seiseto kurang-lebih sama ceritanya dengan saat dia mendekati Josephine, gadis Belanda yang akhirnya jadi istri pertamanya. Saat itu, tahun 1935, Basoeki masih mahasiswa di akademi seni Koninklijke Academie van Beeldenden Kunsten, Den Haag, Belanda. Sejak kecil, Basoeki sudah membaca buku. Hobi itulah yang mempertemukannya dengan Josephine, penjaga satu toko buku di Den Haag.
“Dialah yang selalu menawarkan buku-buku seni kepada saya. Dia pula yang selalu bersemangat menceritakan kehebatan Claude Monet, Van Gogh,” kata Basoeki. Untuk mengambil hati gadis itu, Basoeki mengiyakan saja setiap ceritanya. “Padahal saya sesungguhnya tidak menyenangi karya-karya para pelukis itu. Yang penting saya bisa membuat Josephine senang.”
Basoeki makin sering singgah di toko Josephine. Meski duit di kantongnya tinggal tak seberapa, dia terus membeli buku. Josephine memuji sikap Basoeki yang menyenangkan hatinya. Basoeki makin kelepek-kelepek. Pada suatu siang, Basoeki mengutarakan perasaannya dan hasratnya untuk menikahi Josephine. “Onmogelijkheid.... Tidak mungkin.... Saya orang Belanda, kamu seorang Melayu,” kata Josephine.
Tapi tak ada kata tidak bagi Basoeki. Apalagi dia juga seorang Katolik. Setelah berjuang meyakinkan orang tua Josephine, akhirnya Basoeki dan gadis Belanda itu menikah di satu gereja Katolik di Kota Den Haag. Saat itu Basoeki baru berumur 22 tahun, sementara Josephine, 20 tahun. Dari pernikahan ini, lahir putri pertama Basoeki, Saraswati. Ingin tinggal jauh dari orang tua Josephine, yang belum sepenuhnya rela punya menantu Basoeki, pasangan ini memilih hidup berpindah-pindah kota di Indonesia.
Pernikahan orang Jawa dan Belanda ini hanya bertahan enam tahun. Perbedaan budaya di antara keduanya susah didamaikan. Pada 1944, Basoeki kembali menikah dengan seorang gadis Belanda, Maria Michel. Seperti halnya pernikahan dengan Josephine, hubungan Basoeki dan Maya juga tak langgeng, hanya tahan 12 tahun. Tapi hubungan baik Basoeki dan Maya masih terus terjalin bahkan setelah keduanya menikah lagi dengan orang lain.
Kisah Basoeki di Thailand bermula di Singapura. Pada Februari 1958, Basoeki menggelar pameran tunggal di Victoria Memorial Hall, Singapura. Saat itu, putra Raden Abdullah Suriosubroto dari istri keduanya, Ngadisah, ini sudah jadi pelukis potret yang lumayan kondang. Dia dekat dengan Presiden Sukarno. Meski tak resmi jadi pelukis Istana, oleh Bung Karno, Basoeki diangkat sebagai ‘Kerabat Istana Kepresidenan’.
Sejak muda, Basoeki memang tak pernah menetap lama di satu tempat. Bak kumbang di taman, dia hinggap dari satu pohon ke pohon lain. Pada tahun itu, Basoeki lebih banyak tinggal di Singapura. Studionya di Singapura, saat itu masih bagian dari Federasi Malaya, selalu ramai dikunjungi orang-orang yang hendak memesan lukisannya.
Pameran di Victoria Memorial tersebut sukses besar. Banyak pejabat negara dan orang kaya yang datang berkunjung, bahkan ada pula yang terbang dari negeri seberang. Tan Puying Manilat dan saudaranya, Surathun, datang jauh-jauh dari Bangkok, Thailand, hanya untuk menyaksikan pameran Basoeki. Terpikat oleh goresan kuas Basoeki, Manilat mengundangnya untuk melukis keluarganya di Thailand.
Semula Basoeki enggan terbang ke Bangkok lantaran masih banyak pekerjaan tersisa di Singapura. Tapi Manilat dan Surathun setengah memaksa. “Saya dan Manilat adalah keluarga Raja Thailand, Bhumibol Adulyadej,” akhirnya Surathun, dikutip Agus Dermawan dalam bukunya, Basoeki Abdullah: Sang Hanoman Keloyongan, memperkenalkan siapa mereka sebenarnya. Basoeki terperanjat. Jika keluarga Raja yang meminta, mana tega Basoeki menolaknya.
Di Thailand, orang Jawa itu diterima dengan hormat oleh Raja Bhumibol dan Ratu Sirikit. Ratu Sirikit meminta Basoeki melukis dia dan Raja Bhumibol. Bukannya langsung mengiyakan, Basoeki malah jual mahal. Dia meminta diberi izin untuk menggelar pameran tunggal di Bangkok lebih dulu sebelum melukis Raja dan Ratu Thailand. Basoeki tentu tak asal jual mahal. Tapi dia mengajukan alasan yang tak bisa ditolak Ratu Sirikit.
“Agar masyarakat Thailand tahu siapa dan bagaimana kualitas pelukis yang akan menggambar keluarga Kerajaan,” kata Basoeki. Maka jadilah dia berpameran tunggal di Gymnasium of the National Stadium. Demi pameran itu, Basoeki memboyong puluhan lukisan yang dia garap sewaktu tinggal di Indonesia dan Singapura.
Raja Bhumibol dan Ratu Sirikit puas, maka sejak hari itu Basoeki resmi menjadi pelukis Istana Kerajaan Thailand. Segala keperluan Basoeki dipenuhi oleh Raja. Bukan cuma jadi ‘tukang gambar’ Kerajaan, Basoeki yang suka melucu dan biasa hidup bebas juga jadi teman ngobrol dan penghibur bagi Raja Bhumibol. Reputasi makin menjulang sehingga diundang melukis sejumlah kepala negara, dari Presiden Filipina Ferdinand Marcos, Raja Brunei Hasanal Bolkiah, sampai Presiden Soeharto.
Kembali jadi bujangan dan punya cukup uang, hidup Basoeki di negeri orang terasa sepi tanpa teman perempuan. Hingga suatu kali, dia bertemu Somwang Noi, gadis Thailand pelayan bar yang selalu memberinya senyuman manis. Basoeki pun jadi pelanggan setia bar tempat Noi bekerja. Gadis itu tahu Basoeki bekerja sebagai pelukis Istana Kerajaan Thailand. Basoeki merayu gadis itu dengan menyanyikan Phleng Chat, lagu kebangsaan Thailand.
Noi terbahak-bahak. “Dia pasti merasa aneh. Merayu kok pakai lagu kebangsaan,” Basoeki bercerita. Rayuan lucu itu ternyata mujarab untuk menundukkan hati Noi. Keduanya sepakat naik pelaminan. Tapi hubungan Basoeki dengan Noi rupanya tak disukai keluarga Kerajaan. Bahkan Salaton Bunna, paman Ratu Sirikit, menghendaki Basoeki memutus hubungan dengan Noi. Keluarga Kerajaan Thailand merasa, seorang pelukis Istana tak pantas punya istri seorang pelayan bar.
Seperti biasa, Basoeki tak peduli. Dia tetap menikahi Noi. Sikap keras kepala Basoeki sempat membuat Kerajaan menjatuhkan ‘hukuman’ kepada Basoeki. Basoeki diminta cari rumah sendiri dan bayar dengan uang pribadi. Lantaran kasihan kepada Basoeki, hukuman itu akhirnya dicabut. Pernikahan dengan Noi menjadi hubungan paling singkat Basoeki. Hanya dua tahun berumah tangga, pada 1962 mereka berpisah. “Noi baik, mencintai saya, tapi dia sangat pencemburu,” kata Basoeki.
Hanya terbilang bulanan Basoeki menduda. Dalam satu kontes kecantikan di Kota Bangkok, bangsawan Jawa itu terpesona kepada Nataya Nareerat. Kebetulan Basoeki menjadi salah satu juri. Nataya lahir di Bangkok dari keluarga sederhana. Perbedaan usia yang sangat jauh tak jadi soal bagi mereka. Saat itu Basoeki sudah 47 tahun, sementara Nataya belum 18 tahun.
“Maukah kamu menikah dengan saya?” Basoeki iseng-iseng bertanya kepada Nataya sembari menyapukan kuas. Saat itu, sudah tiga kali Nataya jadi model lukisan Basoeki. Jawaban gadis Thailand itu tak disangka-sangka. “Kalau serius, oke saja. Aku akan bertanya dulu kepada ibuku,” jawab Nataya. Basoeki lemas, tapi juga girang bukan kepalang. Meski beda usia, beda budaya, pernikahan Basoeki dengan Nataya justru langgeng sampai maut menjemput Basoeki.
Ayahnya, kata Sidhawati, orang yang romantis. Basoeki tak sungkan menunjukkan kemesraan kepada istrinya di muka banyak orang. Perbedaan umur dan perbedaan budaya, apalagi bagi Nataya yang masih muda dan harus tinggal di negeri orang, memang kadang jadi persoalan. Basoeki yang seorang priyayi dan biasa dilayani, sementara Nataya dari keluarga biasa di Thailand. Tapi cinta bisa mengalahkan semuanya. "Ibu saya sudah berjanji untuk setia sama ayah saya sampai maut memisahkan," kata Sidhawati, putri bungsu Basuki.
Dalam diri Basoeki yang 30 tahun lebih tua, Nataya menemukan sosok ayah juga suami yang matang. Menurut Sidhawati, meski ayahnya sangat sibuk dengan rupa-rupa pesanan lukisan, tapi selalu meluangkan waktu di akhir pekan untuk keluarga. "Saya lebih dekat ke Papa daripada Mama untuk curhat," kata dia. Salah satu kunci dari awetnya hubungan kedua orang tuanya, kata Sidhawati, adalah pengertian Nataya. "Bapak modelnya banyak. Kalau ibu saya pakai cemburu terus, pasti nggak akan kuat seperti istri-istri lain."
Pada tanggal 5 November 1993, Basuki Abdullah ditemukan tewas di kediamannya di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan. Ia dibunuh oleh perampok yang menyantroni rumahnya. Perampokan tersebut didalangi oleh Wahyudi, mantan tukang kebunnya.