Bagaimana nekatnya Basoeki ‘mengejar’ Seiseto kurang-lebih sama ceritanya dengan saat dia mendekati Josephine, gadis Belanda yang akhirnya jadi istri pertamanya. Saat itu, tahun 1935, Basoeki masih mahasiswa di akademi seni Koninklijke Academie van Beeldenden Kunsten, Den Haag, Belanda. Sejak kecil, Basoeki sudah membaca buku. Hobi itulah yang mempertemukannya dengan Josephine, penjaga satu toko buku di Den Haag.
“Dialah yang selalu menawarkan buku-buku seni kepada saya. Dia pula yang selalu bersemangat menceritakan kehebatan Claude Monet, Van Gogh,” kata Basoeki. Untuk mengambil hati gadis itu, Basoeki mengiyakan saja setiap ceritanya. “Padahal saya sesungguhnya tidak menyenangi karya-karya para pelukis itu. Yang penting saya bisa membuat Josephine senang.”
Basoeki makin sering singgah di toko Josephine. Meski duit di kantongnya tinggal tak seberapa, dia terus membeli buku. Josephine memuji sikap Basoeki yang menyenangkan hatinya. Basoeki makin kelepek-kelepek. Pada suatu siang, Basoeki mengutarakan perasaannya dan hasratnya untuk menikahi Josephine. “Onmogelijkheid.... Tidak mungkin.... Saya orang Belanda, kamu seorang Melayu,” kata Josephine.
Tapi tak ada kata tidak bagi Basoeki. Apalagi dia juga seorang Katolik. Setelah berjuang meyakinkan orang tua Josephine, akhirnya Basoeki dan gadis Belanda itu menikah di satu gereja Katolik di Kota Den Haag. Saat itu Basoeki baru berumur 22 tahun, sementara Josephine, 20 tahun. Dari pernikahan ini, lahir putri pertama Basoeki, Saraswati. Ingin tinggal jauh dari orang tua Josephine, yang belum sepenuhnya rela punya menantu Basoeki, pasangan ini memilih hidup berpindah-pindah kota di Indonesia.