Tokoh

Raja-Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

Sri Sultan Hamengku Buwono X

Sri Sultan Hamengku Buwono X
Dok kratonjogja

Sejarah mencatat bahwa pada akhir abad ke-16 terdapat sebuah kerajaan Islam di Jawa bagian tengah-selatan bernama Mataram. Kerajaan ini berpusat di daerah Kota Gede sekarang, kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura dan Surakarta. Lambat laun, kewibawaan dan kedaulatan Mataram semakin terganggu akibat intervensi Kumpeni Belanda. Akibatnya timbul gerakan anti penjajah di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi yang mengobarkan perlawanan terhadap Kumpeni beserta beberapa tokoh lokal yang dapat dipengaruhi oleh Belanda seperti Patih Pringgalaya. Untuk mengakhiri perselisihan tersebut dicapai Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari.Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 (Kemis Kliwon, 12 Rabingulakir 1680 TJ) menyatakan bahwa Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Berikut PustakaJC sajikan biodata raja-raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

 

Oleh: Intan Permata Ayu

 

Terlahir dengan nama Bendara Raden Mas (BRM) Herjuno Darpito pada tanggal 2 April 1946 di Yogyakarta, kemudian menghabiskan sepanjang hidupnya di kota yang ia cintai, Sri Sultan Hamengku Bawono Ka10 tumbuh menjadi pribadi yang sangat dekat dengan kota dan rakyatnya. Setelah dewasa beliau ditunjuk oleh ayahandanya sebagai Pangeran Lurah atau yang dituakan diantara semua pangeran di Keraton Yogyakarta. Mas Jun, begitu beliau biasa disapa pada saat muda, kemudian diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Mangkubumi.

 

Sebelum bertahta sebagai Sultan Yogyakarta, KGPH Mangkubumi sudah terbiasa dengan pelbagai urusan di pemerintahan. Beliau sering diminta membantu tugas-tugas ayahandanya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Selain itu, KGPH Mangkubumi sendiri juga aktif di berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Beberapa jabatan yang pernah beliau emban diantaranya sebagai Ketua Umum Kadinda DIY, Ketua DPD Golkar DIY, Ketua KONI DIY dan Presiden Komisaris PG Madukismo.

 

Pada tanggal 2 Oktober 1988 Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat. KGPH Mangkubumi kemudian menjadi calon paling tepat untuk menjadi Sultan berikutnya. Proses suksesi ini menjadi hal yang baru dalam sejarah Keraton Yogyakarta. Pada era sebelumnya, setiap Sultan yang akan dilantik harus mendapat persetujuan dari Belanda.

 

Sesaat sebelum dinobatkan, KGPH Mangkubumi mendapat gelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Hamengku Negara Sudibyo Raja Putra Nalendra Mataram yang bermakna sebagai putera mahkota. Setelah itu, baru kemudian secara sah beliau dinobatkan sebagai Sultan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tanggal 7 Maret 1989 atau Hari Selasa Wage, tanggal 29 Rajab 1921 berdasarkan penanggalan Tahun Jawa.

 

Biodata

Lahir: Yogyakarta, 2 April 1946

 

Nama Kecil: Bendara Raden Mas Herjuno Darpito

 

Orang Tua: 

Sri Sultan Hamengku Buwono IX (ayah)

KRAy. Windyaningrum (ibu)

 

Naik Tahta: 7 Maret 1989

 

Gelar: Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Ka10, Suryaning Mataram, Senopati Ing Ngalogo, Langgenging Bawono Langgeng, Langgenging Tata Panotogomo

 

Penyebutan: Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 biasa juga disebut dengan istilah Ngarso Dalem, Sinuwun atau Sri Sultan

 

Istri: Gusti Kangjeng Ratu (GKR) Hemas

 

Anak:

1. GRAj Nurmalita Sari/GKR Pembayun/GKR Mangkubumi

2. GRAj Nurmagupita/GKR Condrokirono

3. GRAj Nurkamnari Dewi/GKR Maduretno

4. GRAj Nurabra Juwita/GKR Hayu

5. GRAj Nurastuti Wijareni/GKR Bendara

 

Sri Sultan Hamengku Buwono X atau yang sering disebut dengan Sri Sultan HB X adalah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang saat ini masih aktif menjabat.

 

Salah satu tokoh yang juga ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik di Indonesia ini memiliki gelar resmi yang diberikan sejak 7 Maret 1989. Berbagai kegiatan sosial dan politik telah diikuti oleh Raja Yogyakarta yang memiliki nama lahir BRM Herjuno Darpito.

 

Bahkan, pada masa mudanya Sri Sultan juga sempat mengenyam pendidikan sarjana di Universitas Gadjah Mada dengan mengambil bidang studi Fakultas Hukum.

 

Selama mengambil bidang pendidikan hukum, Sri Sultan mulai mengembangkan pola pikir yang lebih modern untuk memajukan Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Meskipun aktif dalam kegiatan sosial dan politik, namun Sri Sultan Hamengku Buwono X memilih untuk mengambil jalan netral saat berada di pusaran politik pemerintahan. Hal ini terlihat saat Sri Sultan juga pernah aktif dalam kepengurusan Partai Golongan Karya.

 

Bahkan, dirinya juga pernah menjabat sebagai Anggota Dewan Penasihat Partai Golkar. Namun, dirinya harus rela untuk melepaskan jabatan di partai politik karena hal ini berkaitan dengan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta yang telah disahkan pada tahun 2012 lalu.

 

Salah satu aturan yang telah ditetapkan pada Undang-undang itu adalah melarang Gubernur yang dijabat oleh Sri Sultan untuk ikut dan terjun langsung di dunia politik.

 

Sri Sultan Hamengku Buwono X juga pernah ikut berpartisipasi dalam kegiatan birokrasi hingga sosial, khususnya di Yogyakarta. Hingga saat ini. Sri Sultan pernah ikut dalam beberapa organisasi seperti Kadinda DIY sebagai Ketua Umum, Ketua KONI Daerah Istimewa Yogyakarta, dan beberapa jabatan lainnya.

 

Sebagai tokoh nasional yang memiliki pengaruh cukup besar di Indonesia, dirinya juga ikut dalam kegiatan politik Deklarasi Ciganjur. Deklrasi ini dicetuskan Sri Sultan dengan beberapa tokoh nasional lainnya sebagai sikap saat terjadinya reformasi di Indonesia.

 

Impian Kebhinekaan yang terus-menerus digaungkan oleh Sultan dianggap sebagai pertimbangan saat dirinya menjadi pembicara pada seminar kebangsaan.

 

Beberapa pemikiran kritis yang dimiliki Sri Sultan kemudian dituangkan pada Karya Ilmiah yang berjudul Kerangka Konsepsi Politik Indonesia yang diterbitkan pada tahun 1989 dan Bercermin Di Kalbu Rakyat yang terbit pada 1999.

 

Kegiatan sosial, politik dan kebudayaan yang dilakukan Sri Sultan juga selalu memberikan hasil yang sangat positif bagi banyak kalangan. Hal ini yang membuat dirinya mendapatkan Gelar Doktor Kehormatan dari ISI atau Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

 

Pemberian gelar ini karena dukungan Sri Sultan pada seni pertunjukan kontemporer dan tradisi yang mulai dilakukannya dari 1989 hingga sekarang.

Baca Juga : The Grand Old Man
Bagikan :