Tokoh

Raja-Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

Sri Sultan Hamengkubuwono IX

Sri Sultan Hamengkubuwono IX
Dok kratonjogja

 

Masa kemerdekaan Sikap Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada awal kemerdekaan Republik Indonesia adalah mendukung penuh NKRI. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan Amanat 5 September 1945 dan membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah di Yogyakarta. Lewat Amanat 5 September 1945, sultan menyatakan bahwa Kesultanan Yogyakarta masuk dalam NKRI. Pemerintah pusat menerima dengan baik amanat tersebut, yang kemudian mengirim Mr. Sartono dan Mr. A.A Maramis ke Yogyakarta untuk menyerahkan piagam penetapan kedudukan Yogyakarta yang telah ditandatangani oleh Soekarno pada 19 Agustus 1945. 

 

 Mengusulkan pemindahan ibu kota Indonesia Pada 4 April 1946, ibu kota Indonesia sempat dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakara karena situasi Jakarta yang sangat tidak aman setelah kedatangan Sekutu. Melihat kondisi di Jakarta yang sedang tidak aman, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pakualam VIII mengirimkan sebuah surat pada 2 Januari 1946. Isi dari surat itu adalah apabila pemerintah RI bersedia, mereka bisa memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta hingga kondisi aman kembali. Tawaran itu pun disambut baik oleh Presiden Soekarno, yang kemudian memindahkan ibu kota Indonesia ke Yogyakarta. Ketika Yogyakarta menjadi ibu kota, sultan melakukan beberapa perubahan, salah satunya menetapkan semua bisnis resmi memberlakukan bahasa Indonesia, bukan lagi bahasa Jawa. Sultan juga memberikan sebagian dari keraton untuk dibangun Universitas Gadjah Mada (UGM). 

 

Setelah itu, pada masa kabinet Sjahrir III, untuk pertama kalinya Sutan menjadi salah satu anggota kabinet. Ia diangkat menjadi Menteri Negara pada 1947. Tanggung jawab Menteri Negara terus ia emban pada masa Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II, hingga masa kabinet Hatta I. Peran Sultan Hamengkubuwono IX dalam Serangan Umum 1 Maret Peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan berlanjut ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II di Yogyakarta pada 19 September 1948. Sultan mengerahkan seluruh usahanya untuk mempertahankan Yogyakarta dengan memerintahkan agar semua gerbang keraton segera ditutup, sehingga tidak ada orang Belanda yang bisa masuk. Namun, pada Januari 1949, Sultan memutukan untuk mundur dari jabatannya sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pertama. 

Baca Juga : Santri Tebuireng, Sastrawan Lesbumi, Novelis yang Dicekal Orba
Bagikan :