Tokoh

Raja-Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

Sri Sultan Hamengkubuwana VII

Sri Sultan Hamengkubuwana VII
Dok kratonjogja

Sejarah mencatat bahwa pada akhir abad ke-16 terdapat sebuah kerajaan Islam di Jawa bagian tengah-selatan bernama Mataram. Kerajaan ini berpusat di daerah Kota Gede sekarang, kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura dan Surakarta. Lambat laun, kewibawaan dan kedaulatan Mataram semakin terganggu akibat intervensi Kumpeni Belanda. Akibatnya timbul gerakan anti penjajah di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi yang mengobarkan perlawanan terhadap Kumpeni beserta beberapa tokoh lokal yang dapat dipengaruhi oleh Belanda seperti Patih Pringgalaya. Untuk mengakhiri perselisihan tersebut dicapai Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari.Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 (Kemis Kliwon, 12 Rabingulakir 1680 TJ) menyatakan bahwa Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Berikut PustakaJC sajikan biodata raja-raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

 

Oleh: Intan Permata Ayu

 

Sri Sultan Hamengkubuwana VII (bahasa Jawa: Sri Sultan Hamengkubuwono VII, lahir 4 Februari 1839 – meninggal 30 Desember 1921 pada umur 82 tahun) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1877 – 1920, berjuluk Sinuhun Behi. Ia dikenal juga dengan sebutan Sultan Ngabehi atau Sultan Sugih.

 

Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Murtejo, putra tertua Sultan Hamengkubuwono VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Ia naik takhta menggantikan ayahnya tanggal 13 Agustus 1877.

 

Pada masa pemerintahan Hamengkubuwono VII, banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, yang seluruhnya berjumlah 17 buah. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar F200.000,00. Hal ini membuat Sultan sangat kaya sehingga sering memperoleh julukan Sultan Sugih[butuh rujukan].

 

Masa pemerintahannya juga merupakan masa transisi menuju modernisasi di Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan. Ia bahkan mengirim putra-putranya belajar hingga ke negeri Belanda.

 

Pada tanggal 29 Januari 1921 Hamengkubuwono VII yang saat itu berusia 81 tahun memutuskan untuk turun takhta dan mengangkat putra mahkotanya yang keempat (GRM Sujadi, bergelar GPH Purubaya) sebagai penggantinya. Konon peristiwa ini masih dipertanyakan keabsahannya karena putera mahkota yang pertama (GRM Akhaddiyat, bergelar KGP Adipati Anom Hamengkunegara I), yang seharusnya menggantikan ayahnya, tiba-tiba meninggal dunia dan sampai saat ini belum jelas penyebab kematiannya. Penggantinya, KGP Adipati Anom Hamengkunegara II (kemudian bergelar KGP Adipati Juminah), diberhentikan karena alasan kesehatan. Putra mahkota yang ketiga, GRM Putro (bergelar KGP Adipati Anom Hamengkunegara III), meninggal dunia tanggal 21 Februari 1913 akibat sakit keras setelah kembali dari Kulon Progo.

 

Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda yang tidak setuju dengan putera mahkota pengganti Hamengkubuwono VII yang terkenal selalu menentang aturan-aturan yang dibuat pemerintah Batavia.

 

Biasanya dalam pergantian takhta raja kepada putera mahkota ialah menunggu sampai sang raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali ini berbeda karena pengangkatan Hamengkubuwono VIII dilakukan pada saat Hamengkubuwono VII masih hidup (Ada cerita bahwa sang ayah diasingkan oleh putera mahkota yang keempat ke Pesanggrahan Ngambarrukma di luar keraton Yogyakarta)

 

Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang anak (yang di dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero) yang secara politis telah menguasai kondisi di dalam pemerintahan kerajaan. Setelah turun takhta, Hamengkubuwono VII pernah mengatakan “Tidak pernah ada raja yang meninggal di keraton setelah saya” yang artinya masih dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua raja setelah Hamengkubuwono VII yang meninggal di luar keraton, yaituHamengkubuwono VIII (meninggal dunia setelah menjemput putra mahkota, GRM Dorojatun, dari Batavia) dan Hamengkubuwono IX (meninggal dunia di Amerika Serikat). Bagi masyarakat Jawa adalah suatu kebanggaan jika seseorang meninggal di rumahnya sendiri. Hamengkubuwono VII meninggal di Pesanggrahan Ngambarrukma pada tanggal 30 Desember 1931 dan dimakamkan di Makam Imogiri.

 

Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta pensiun kepada Belanda untuk madeg pandita (menjadi pertapa) di Kedaton Ngambarrukma. Sampai saat ini bekas kedaton itu masih ada dan di sebelah timurnya berdiri Hotel Ambarrukma.

Baca Juga : Menteri Agama di Kabinet Prabowo-Gibran
Bagikan :