Periode Ketiga Tahun 1825, terjadi perlawanan Pangeran Diponegoro, putra Hamengkubuwono III terhadap Belanda. Pada masa itu, raja yang sedang bertahta adalah Hamengkubuwono V. Perlawanan dari Pangeran Diponegoro dituai banyak dukungan dari para rakyat. Untuk menarik simpati mereka, pemerintah Hindia mendatangkan Hamengkubuwana II dan menggeser kedudukan Hamengkubuwono V. Hamengkubuwono II kembali memimpin sebagai raja Yogyakarta pada 18 Agustus 1826. Kedatangan Hamengkubuwono II ini sedikit banyak melemahkan kekuatan Diponegoro.
Dalam masa itu, Sultan berusaha keras untuk menertibkan keadaan dan mengembalikan keamanan di wilayahnya. Kematian Setelah memimpin Yogyakarta selama tiga periode, Sultan Hamengkubuwono II wafat pada 3 Januari 1828 setelah menderita sakit radang tenggorokan dan usia tua. Kedudukannya pun kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwono V. Jenazah Hamengkubuwono II dimakamkan di kompleks pemakaman Kotagede. Peninggalan Sri Sultan Hamengkubuwono II meninggalkan karya-karya momumental, mulai dari membentuk satuan keprajuritan yang dilengkapi dengan persenjataan yang lebih baik. Ia juga membangun Benteng Baluwarti yang dilengkapi meriam guna melindungi keraton dari serangan luar.
Kemudian, Hamengkubuwono II juga memiliki peninggalan dalam bidang sastra, seperti Babad Nitik Ngayogya dan Babad Mangkubumi. Dua karya ini menceritakan tentang perjuangan berdirinya Keraton Yogyakarta. Selain itu, Hamengkubuwono II juga memerintahkan untuk membuat berbagai bentuk wayang kulit.