Seno memang teramat akrab dengan kehidupan selepas senja. Kesusastraan penulis yang kerap menyebut dirinya wartawan itu dituangkan lewat pengamatan. Saat belum lama menikah, ia sempat kuliah seraya menjajal dunia hiburan malam demi menyambung hidup.
“Artinya, saya menghayati, peduli, dan terinspirasi. Malam jadi simbolis. Enggak cuma gelap tapi punya makna, di mana benar atau salah tak terlalu jelas batasnya,” katanya. Seno juga menulis beberapa buku berlatar wayang berlanggam surealsime yang ia nikmati seluruh prosesnya.
Seno kerap terbentur dengan idealisme sineas-sineas yang hendak mengangkat kreasinya ke layar lebar. Kata pelacur pada judul skenario misalnya, diganti. “Waktu ketemu, saya dikasih tahu soal pelacurnya itu. Apa salahnya? Di kamus ada kok. Dalam lagu ‘Hitam Kelam’, Bimbo juga menyanyikannya,” ucapnya.
Suatu waktu, Seno berkonsultasi dengan feminis mengenai kata pelacur yang disematkan pada judul. Ternyata, bukan persoalan. “Katanya, alah, hanya judul. Itu cuma kata, kan. Tabrak saja. Jadinya, ya, saya pakai. Nah, itu menarik,” katanya.
Berurusan dengan redaktur surat kabar saja pernah ia alami sampai-sampai tulisannya yang sudah rampung empat bab batal dimuat. “Tahun 2003, kalau dimuat saya bikin bersambung biarpun harus lari-lari. Kata pemred, ada pelacurnya. Ya, sudah berhenti. Saya kasih cerita lain, Negeri Senja,” ucapnya.