Tak heran, Marti & Sandra tervisualisasikan serupa sinematik lewat pergantian set hingga kadang begitu cepat macam jump cut. Begitu pun dengan teknik-teknik seperti zoom, close-up, atau long shot. Seno mengaku terkejut saat cerbung itu rampung.
“Paling ajaib, saya sendiri enggak menduga. Saya sempat mikir, apa boleh begini? Kayak enggak etis tapi kok, bisa atau pantas, ya,” ujarnya. Ia lantas menyadari kesahihan cerbungnya mengingat media yang berlainan. Beda dengan spektrum sebelumnya yang ditampilkan lewat tontonan bertajuk “Ibuku Seorang P”.
Perbedaan paling kentara dibandingkan cerpen dan skenarionya, Seno membubuhkan plot twist atau akhir yang tak terduga. “Permainannya, ya, twist (pemutaran). Itu kuncinya. Buntutnya saya tambahkan. Penting itu karena seru,” katanya sambil tersenyum.
Deskripsi visual beralih menjadi literer naratif. Lazimnya beberapa buku Seno, kelas menengah disoroti dengan segala hedonisme, hipokrit, dan materlialisme. Sesekali, ia masih sedikit nakal dengan sedikit repih-repih sensualitas, eksotisme, atau stimulan lain.
Keremangan klab, cumbu rayu, hingga akuarium manusia-manusia malang diuraikan dengan lincah. Kehidupan malam dicantumkan menari-nari dengan liar namun juga jujur. Cerita tersebut juga menyisipkan Marti, ibu Sandra yang meneguhkan martabat di antara dunia hitamnya.