Iskandar menyatakan, kerajaan-kerajaan Aceh begitu membanggakan tentara gajah, karena memang hanya beberapa saja yang memiliki satwa besar itu. Sedangkan M. Junus Djamil, penulis buku Gadjah Putih menyebut gajah telah menjadi lambang keagungan Kerajaan Aceh sejak tahun 500 Masehi.
Bukan hanya dikoleksi, menurut Takeshi Ito dalam The World of The Adat Aceh yang dinukil dari Historia, gajah juga telah diekspor ke beberapa wilayah seperti Srilanka, biasanya dibarter dengan kuda atau sejumlah hewan lainnya.
Ketika Sultanah Safiatuddin (1641-1675) memerintah Kerajaan Aceh, gajah tidak hanya menjadi properti istana, tetapi juga bisa dimiliki oleh orang kaya. Namun seiring meredupnya, Kesultanan Aceh, gajah tidak lagi mendapatkan kemuliannya apalagi menjadi armada perang.
Memasuki abad 20, nasib gajah menjadi lebih naas lagi, mereka hanya menjadikannya barang buruan untuk diperdagangkan. Bahkan memperlakukan layaknya hama, sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam pikiran leluhur masyarakat Aceh.