Pada 1975 ketika pecah konflik Indonesia dengan Timor Timur --kemudian menjadi Timor Leste--, pasukan TNI harus menghadapi pasukan geriliya yang terlatih. Pasukan reguler Fretilin saat itu merupakan mantan Tropas (Pasukan Portugis) yang telah memiliki pengalaman tempur di beberapa tempat.
Kekuatan Fritilin saat itu berjumlah 2.500 orang serta didukung masyarakat yang anti-integrasi dengan Indonesia. Senjata yang mereka miliki cukup baik, mulai dari senapan serbu G-3, spandau, dan peluncur mortir.
"Dengan demikian, ketika pasukan TNI melawan Timor Timur bukan hanya menghadapi peperangan parsial melawan para kombatan murni, tetapi peperangan total," ungkap Winardi.
Dicatat Winardi dalam bukunya itu, pada hari pertama pertempuran, sebanyak 35 anggota Brigif 18/Linud Kostrad gugur sementara 16 anggota Detasemen Tempur 1 Grup Parako/Koppasandha juga gugur, serta 6 orang lagi dinyatakan hilang.