Tokoh

Kasim Arifin

Rela KKN 15 Tahun Demi Kembangkan Pertanian di Maluku

Rela KKN 15 Tahun Demi Kembangkan Pertanian di Maluku
dok wikipedia

Umumnya, KKN dipandang sebagai konsep atas kesadaran mahasiswa sebagai calon sarjana untuk dapat memanfaatkan sebagian waktu belajarnya, guna menyumbangkan pengetahuan dan ilmu yang telah diperoleh selama masa pendidikan, untuk membantu memecahkan dan melaksanakan pembangunan di dalam kehidupan masyarakat secara langsung.

 

Oleh: Permata Ayu

 

Biasanya, program KKN dilakukan oleh para mahasiswa pada saat mendekati akhir masa perkuliahan, dan berlangsung antara satu hingga tiga bulan sebagai salah satu hal wajib untuk memenuhi syarat kelulusan.

 

Sesuai namanya, program KKN ini mengharuskan mahasiwa untuk terjun langsung ke masyarakat di berbagai daerah, provinsi, dan kabupaten di seluruh Indonesia. Bahkan, ada juga yang dikirim ke wilayah-wilayah tertinggal, terpencil, dan wilayah berbatasan.

 

Bicara soal pengiriman mahasiswa dalam program KKN ke wilayah-wilayah terpencil, di Indonesia rupanya sempat ada satu kisah KKN di masa lalu yang penuh inspirasi dan sukses mencuri perhatian bahkan hingga saat ini.

 

Jika KKN biasanya berlangsung hanya dalam waktu paling lama tiga bulan, ternyata pernah ada seorang mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB), yang menjalani masa KKN selama 15 tahun.

 

Mohamad Kasim Arifin, seorang pria kelahiran tahun 1938 asal Langsa, Aceh Timur. Sosok tersebut diketahui menimba ilmu ke luar daerah dan menjadi seorang mahasiswa di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB).

 

Pada tahun 1964, Kasim kemudian mendapat penugasan Pengerahan Tenaga Mahasiswa, cikal bakal program yang saat ini lebih dikenal dengan istilah KKN. Kasim dikirim ke Waimital, sebuah desa di Pulau Seram, Maluku, guna mengemban tugas memperkenalkan program Panca Usaha Tani.

 

Rencana awal KKN yang seharusnya berlangsung selama beberapa bulan saja, ternyata berubah menjadi awal perjalanan hidup yang besar bagi Kasim. Terlalu larut dalam pengabdian yang dia lakukan, Kasim ternyata meneruskan dan menjalani 15 tahun hidupnya di Waimital.

 

Bertemu dengan sebuah keluarga petani miskin, hati nurani Kasim pada akhirnya terketuk untuk mencurahkan semua pengetahuan dan ilmu yang ia dapat selama menimba ilmu di IPB untuk masyarakat setempat.

 

Pada akhirnya, Kasim meninggalkan semua identitas mahasiswa asal kota yang melekat pada dirinya, Kasim menjalani kehidupan sebagai seorang pria dengan keseharian memakai sandal jepit dan baju lusuh, setiap harinya ia berjalan sejauh puluhan kilometer bersama para petani menuju sawah.

 

Kasim menolong masyarakat desa Waimital untuk menjadi petani yang mandiri. Ia bersama warga setempat membuka jalan desa, membangun sawah-sawah baru, membuat irigasi, dan semua Kasim lakukan tanpa bantuan satu sen pun atau mengharapkan keikutsertaan pemerintah.

 

Berkat tekad dan keseriusannya membangun wilayah Waimital, Kasim begitu dihormati oleh masyarakat setempat kala itu, dirinya digambarkan sebagai sosok yang menghargai kesederhanaan, kedermawanan, dan memikiki tutur kata yang lembut.

 

Kasim juga dianggap berhasil membangkitkan semangat warga Waimital untuk hidup bergotong-royong. Berkat pembawaannya tersebut, dirinya bahkan mendapat julukan Antua, sebuah sebutan bagi orang yang dihormati di Waimital dan Maluku.

 

Saat awal dirinya tidak pulang semenjak masa KKN yang sudah lewat dari waktu semestinya, hingga diketahui bahwa Kasim memutuskan untuk menetap di Waimital, Kasim kerap kali dianggap sebagai sosok yang hilang.

 

Baru pada saat sudah ada titik terang mengenai keberadaannya yang ternyata menetap di salah satu desa Pulau Seram tersebut, Kasim mendapat berbagai permintaan untuk pulang baik ke kampung halaman dari keluarganya, ataupun ke kota tempat ia menimba ilmu dan melanjutkan pendidikan.

 

Bukan tanpa alasan, karena di saat teman-temannya sudah menyelesaikan pendidikan, menjadi sarjana, dan meraih kehidupan yang berhasil sebagai seorang pejabat atau pengusaha, Kasim masih tetap berpegang teguh pada pendiriannya untuk menetap di Waimital sebagai seorang petani yang bersahaja.

 

Orang tua Kasim yang berada di Aceh diketahui sempat meminta dirinya untuk pulang, namun dia masih bergeming. Tak cukup sampai di situ, Rektor IPB yang kala itu masih menjabat, yaitu Andi Hakim Nasoetion juga kerap memanggilnya untuk pulang dan menyelesaikan pendidikan, namun tidak ia hiraukan.

 

Tak kehabisan akal, sang rektor lalu mengirimkan sahabatnya, Saleh Widodo untuk menjemput Kasim secara langsung. Akhirnya dengan berat hati, Kasim pulang ke Bogor, kota tempat ia menimba ilmu masih dengan hanya menggunakan sandal jepit dan baju yang lusuh.

 

Mendapat bantuan dan dorongan untuk meneruskan pendidikan dan meraih gelar Sarjana, Kasim yang mengaku tidak memiliki keahlian menyusun skripsi akhirnya dibantu oleh teman-temannya yang memutuskan untuk mengangkat kisah perjuangan Kasim di Waimital sebagai pembahasan pada Skripsi.

 

Kasim menceritakan perjalanan membangun Waimital kepada teman-temannya yang mendengarkan dengan penuh haru, mereka menganggap Kasim sebagai sosok yang memberikan bukti nyata akan pengabdian kepada masyarakat melampaui makna dari penugasan yang diterima lewat program KKN itu sendiri.

 

22 September 1979, hari wisuda tiba. Kasim nyatanya tidak berharap banyak, apa yang bisa diharapkan dari wisuda seorang mahasiswa yang seharusnya sudah berlangsung selama 15 tahun sebelumnya.

 

Memutuskan untuk duduk di barisan kursi paling belakang, namun hal tak terduga justru terjadi. Begitu Kasim datang, semua orang berdiri dan bertepuk tangan. Dedikasi yang Kasim lakukan membuat banyak orang sangat menghormati dirinya.

 

Tak melupakan tekad yang ia miliki sejak awal, selepas wisuda Kasim diketahui kembali ke Waimital dan meneruskan hal-hal yang ingin ia bangun, padahal saat itu dirinya diketahui mendapat berbagai tawaran pekerjaan yang menjanjikan.

 

Ada satu cerita unik lainnya yang terjadi, pada tahun 1982 Kasim disebut mendapatkan penghargaan Kalpataru dari pemerintah untuk jasa-jasa membangun masyarakat desa dengan wawasan lingkungan hidup.

 

Namun, sebagaimana Kasim yang tidak memandang penghargaan sebagai sesuatu yang berarti dibanding ilmu yang bisa ia berikan untuk masyarakat Waimital, ia meninggalkan penghargaan Kalpataru tersebut begitu saja di bawah kursi, hingga akhirnya ada seseorang yang mengantarkan penghargaan tersebut ke rumahnya.

 

Baru beberapa tahun setelahnya, barulah Kasim menerima tawaran sebagai seorang dosen di Universitas Syiah Kuala, Aceh. Meski begitu, dirinya diketahui tetap memiliki kecondongan mengabdi kepara para petani. Kasim kemudian pensiun sebagai seorang dosen pada tahun 1994.

 

Di usianya yang semakin senja, Kasim masih sempat menelusuri ruas jalan Ladia Galaska, antara Pinding dan Lokop, yang pembangunannya memicu kontroversi. Kasim menjadi salah seorang anggota tim terpadu yang ditugaskan pemerintah untuk mengkaji ruas jalan yang masih bermasalah tersebut.

 

Berkat ketangguhannya yang menginspirasi, perjalanan hidup Kasim bahkan diangkat menjadi sebuah syair puisi pada tahun 1979 oleh Taufiq Ismail, penyair yang juga sekaligus menjadi temannya. Kasim diketahui meninggal dunia pada tahun 2006 karena penyakit yang diderita. Namun, jasa dan perjuangan Kasim masih terus diingat hingga saat ini.

 

Baca Juga : Pemikiran, Diplomasi, dan Warisan bagi Nusantara
Bagikan :