Moderasi Beragama bukan konsepsi mati yang kaku tanpa nyawa. Ia adalah jiwa yang menghidupkan raga, yang harus tetap dan terus hidup mengada, berkembang menyesuaikan konteks dan zamannya. Karenanya, Moderasi Beragama membutuhkan dialog dan keteladanan. Ia membutuhkan para aktor yang meneduhkan dan mendamaikan. Ia membutuhkan sosok yang mengintegrasikan, dan bukan mensegregasikan. Figur yang inklusif, bukan eksklusif, yang pendekatannya kooperatif bukan konfrontatif. Tokoh yang bisa menjadi contoh. Akademisi yang meluruskan deviasi dan distorsi. Agamawan dan budayawan yang menjadi teladan dan panutan.
“Moderasi Beragama membutuhkan semua kita, yang senantiasa memahami dan mengamalkan agama, dengan ilmu secara adil dan berimbang menggunakan jiwa, logika, dan rasa. Kita yang beragama tak hanya untuk diri semata, tapi juga untuk menjaga segenap warga dan seluruh tumpah darah Indonesia. Serta kita yang memelihara persaudaraan antarbangsa segenap anak manusia, sepenuh cinta,” tandasnya. (pstk01)