Pendidikan & Sastra

Buat Bumiputra Lupa Merdeka, Inilah Balai Pustaka dan Politik Perbukuan

Buat Bumiputra Lupa Merdeka, Inilah Balai Pustaka dan Politik Perbukuan
dok historia

 

Mereka ingin mengumpulkan berbagai macam dongeng masyarakat, menghadirkan bacaan roman untuk rakyat dan sedapat mungkin menghindari isu-isu agama, rasial, dan politik,” jelas Dwi Susanto dan Rianna Wati dalam Wacana Romantisme dalam Sejarah Sastra Indonesia Periode Kolonial Belanda (1900-1942).

 

Upaya ini didukung dengan kemampuan Balai Pustaka menghadirkan buku yang lebih murah dibanding penerbit mandiri. Berbagai inovasi ini memang dilakukan Balai Pustaka untuk memadamkan api perlawanan yang dipicu penerbit liar bumiputra.

 

Rickes saat itu tidak hanya mengawasi dan mengatur selera sastra penduduk bumiputra tetapi dia juga mengontrol penerbitan bumiputra. Beberapa kali dia berusaha mengambil alih percetakan bumiputra.

 

Salah satu percetakan yang ingin dia ambil alih adalah Evolutie yang dipimpin oleh Datoek Toemenggoeng. Alasannya, Evolutie melalui koran Neratja tendensi politik mendukung gerakan Sarekat Islam.

 

Dirinya juga mencoba berkompetisi dengan percetakan bumiputra. Pada tahun 1918, Balai Pustaka menerbitkan jurnal ilmiah bernama Sri Poestaka yang kemudian berkembang menjadi Pandji Poestaka.

Baca Juga : Mendikdasmen Paparkan Tiga Opsi Libur Ramadan, Pertimbangkan Usulan Masyarakat
Bagikan :