Tugas lembaga otonom ini adalah mengatur pengumpulan naskah, percetakan, penerbitan, dan peredaran buku-buku yang dianggap bermutu menurut pemerintah kolonial. Staffnya ketika itu bisa mencapai 250 orang.
Pada masa kepemimpinan Rinkes, lembaga ini memang menjadi semakin besar dengan hadirnya departemen editorial, departemen terjemahan, departemen perpustakaan, dan departemen pers serta pabrik percetakan yang lengkap.
“Rinkes menjadi orang yang paling bertanggung jawab dalam menyusun visi dan misi Balai Pustaka untuk ke depannya. Oleh sebab itu, para penggantinya pun hanya terkesan melanjutkan rancangan Rinkes,” tulis Andries Teeuw dalam The Impact of Balai Pustaka on Modern Indonesian Literature.
Balai Pustaka tidak hanya menyediakan bacaan untuk penduduk, tetapi juga membentuk selera sastra masyarakat saat itu. Pada masa ini, tampak jelas bahwa sastra tradisional masih mendominasi bacaan masyarakat pada umumnya.