SURABAYA, PustakaJC.co - Menciptakan kehidupan ramah anak dengan menjamin pemenuhan dan perlindungan hak anak butuh kolaborasi berbagai pihak. Apalagi, di masa pandemi Covid-19, anak-anak harus dipastikan sehat fisik dan mentalnya serta tetap bahagia menjalani kehidupannya yang terbatas dengan menjauhkan mereka dari potensi kekerasan fisik dan nonfisik yang mengganggu tumbuh kembangnya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam diskusi bertajuk ”Protecting the Children for Our Future” yang dilansir dari kanal Youtube Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Chapter Universitas Indonesia, Minggu (7/11/2021), mengatakan, bangsa besar berinvestasi serius pada sumber daya manusia. Indonesia dengan populasi sekitar 270 juta jiwa yang 31,6 persen di antaranya anak juga perlu melakukan ini.
”Karena itulah, pemenuhan hak anak dan perlindungan anak menjadi kunci investasi bangsa. Apalagi dalam pandemi Covid-19 kesehatan anak-anak berisiko karena belum semua kelompok anak divaksin. Ada masalah pula pada kesehatan mental yang terdampak karena berbagai perubahan besar yang terjadi tiba-tiba,” kata Darmawati.
Menurut Darmawati, kompleksitas isu yang melingkupi anak-anak sangat besar. Berbagai hak anak, seperti hak dasar untuk hidup, tumbuh kembang, perlindungan, dan partisispasi, wajib dipenuhi tanpa kecuali dalam situasi apa pun dan tanpa diskriminasi.
”Pemerintah dan semua pihak harus saling bahu-membahu menciptakan hidup yang ramah anak,” ujar Darmawati.
President of FPCI Chapter UI Board of 2021 Tasya Asila Ramadhina mengatakan, diskusi tentang perlindungan anak untuk masa depan bangsa digagas mahasiswa UI untuk menyambut peringatan Hari Anak Internasional pada 20 November. Pembahasan hak anak menjadi perhatian dunia, termasuk tentang pendidikan yang memadai, perlindungan, dan toleransi. Banyak kasus kekerasan fisik dan nonfisik yang menimpa anak-anak.
”Generasi muda harus punya kepedulian untuk meneruskan hal-hal baik yang dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk perlindungan anak. Kepedulian pada anak-anak generasi penerus bangsa dan perlindungan anak Indonesia harus dikuatkan,” kata Tasya.
Pemerintah dan semua pihak harus saling bahu-membahu menciptakan hidup yang ramah anak.
Keluarga dan sekolah ramah anak
Pembahasan tentang perlindungan anak untuk masa depan bangsa itu menghadirkan narasumber Direktur dan Pendiri Sokola Institute Butet Manurung, Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak, Kementerian PPPA, Agustina Erni, dan Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi. Salah satu isu yang mencuat dalam diskusi ini ialah upaya menguatkan peran orangtua dan keluarga dalam pengasuhan serta menghadirkan pendidikan ramah anak.
Seto mengatakan, kondisi pandemi memicu peningkatan kekerasan pada anak. Orangtua mengalami tekanan karena kesulitan ekonomi, konflik, hingga perceraian yang berdampak pada anak. Lalu, cara pembelajaran daring menempatkan orangtua untuk berperan sebagai pendidik anak. Banyak orangtua yang tidak siap ditambah lagi tidak semua sekolah mengadaptasi kurikulum yang penuh.
”Masa pandemi ini memberi pelajaran bahwa orangtua dan anak-anak butuh daya lenting atau resiliensi. Para orangtua semakin butuh keterampilan pengasuhan atau parenting skill agar mampu menjadi sahabat anak dan sangat sabar sekali atau selalu senyum pada anak-anak sehingga merasa nyaman dalam keluarga,” kata Seto.
Menurut Seto, pembelajaran bermakna semakin penting bagi anak-anak di masa kini. Penerapan kurikulum jangan dipaksakan untuk semua anak, tetapi harus disesuaikan dengan kondisi tiap anak dengan memberi ruang bagi anak untuk berpartisipasi dan mengembangkan potensi dirinya menjadi apa pun.
Erni mengatakan, para orangtua masih belum sepenuhnya memahami tumbuh kembang anak. Ada sekitar 80 juta keluarga dengan latar belakang beragam yang harus terus diperkuat untuk memahami cara melindungi anak sehingga meningkatkan kesejahteraan. Kenyataannya, justru keluarga juga menjadi bagian dari pelaku kekerasan pada anak.
Sementara Butet mengingatkan, ancaman pada perlindungan anak bukan semata masalah kekerasan. Hak anak untuk menikmati alam yang terjaga dan anak-anak menjadi bagian dari upaya pelestarian alam juga penting untuk disuarakan. Bagi anak-anak di komunitas atau masyarakat adat, berbagai kebijakan pemerintah dan korporasi dalam pertambangan, perkebunan, dan kehutanan, misalnya, mengancam eksitensi alam beserta flora fauna tempat komunitas ini hidup.
”Anak-anak tidak hanya harus belajar di sekolah dan buku saja. Anak-anak perlu diajak untuk belajar tentang kehidupan di sekitarnya,” kata Butet.
Para siswa mengikuti kegiatan belajar di Sekolah Adat Kabupaten Jayapura dengan antusias. Merekalah yang akan menjaga kelestarian budaya masyarakat suku Sentani di masa depan.
Butet juga menyoroti kebijakan pendidikan bagi anak-anak masyarakat adat yang harus sama dengan anak-anak lain. ”Hak terhadap pendidikan, kok, ke sekolah menabrak rutinitas anak-anak ke sawah, laut, atau berburu. Padahal, kegiatan itu juga memberikan banyak pelajaran kehidupan untuk bertahan dari generasi ke generasi,” tutur Butet.
Menurut Butet, perlu ada perbaikan dalam ketentuan di Konvensi Hak Anak dan peraturan tentang anak di Indonesia. Ketika menyangkut anak-anak masyarakat adat, aktivitas mereka bersama orangtua bekerja di hutan, laut, dan ladang jangan dimaknai sebagai bekerja yang dinilai sebagai mempekerjakan anak.
”Anak-anak butuh belajar dari alamnya untuk bertahan hidup, yang sebenarnya ilmu yang tidak kalah keren dari ilmu yang dipelajari di sekolah. Hendaknya jangan kurikulum yang ada diterapkan 100 persen di suatu lokasi tanpa penyesuaian dan kebutuhan siswa,” kata Butet.
Seto mengatakan, anak-anak sebenarnya senang belajar. Karena itu, pendidikan harus mengedepankan kurikulum yang menyenangkan. Semua anak harus merasa gembira dan bahagia saat belajar.
”Jangan sampai ada kekerasan atas nama pendidikan dengan kurikulum yang menyeragamkan. Wajibnya, kan, wajib belajar, bukan wajib sekolah. Semua cara belajar formal, informal, dan nonformal juga diakui. Jadi, Merdeka Belajar harus memberi ruang anak untuk menjadi apa saja yang sesuai dengan dirinya,” ujar Seto.
Menurut Seto, sekolah ramah anak seperti tanah subur yang memungkinkan tanaman bisa tumbuh subur, tanpa kekerasan. Anak-anak mendapatkan dukungan dari guru dan sekolah untuk mencapai potensi terbaik dengan pendidikan yang bermakna untuk kehidupannya, menjadi apa pun dirinya kelak ketika dewasa.
Sementara Erni mengatakan, sekolah ramah anak dikembangkan dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Sekolah dan orang dewasa yang ada di lingkungan sekolah harus mampu menjadi pengajar, pembimbing, orangtua, dan sahabat bagi anak-anak. Sekolah ramah anak dipastikan dengan adanya kebijakan dari pimpinan sekolah yang pendidik dan orang-orang dewasa di sekolah punya paradigm baik pada anak. Lalu, proses belajar dan sarana-prasarana ramah anak. Selanjutnya, anak berpartisipasi, serta ada pula keterlibatan orangtua dalam pendidikan bersama sekolah. (int)