SURABAYA, PustakaJC.co - Ramadan dan Lebaran memang telah usai, namun dampaknya terhadap harga-harga masih terasa. Inflasi Maret 2025 naik tajam hingga 1,79 persen, menandai tekanan serius terhadap daya beli rumah tangga. Lonjakan ini tak cuma menyentuh dompet rakyat kecil, tapi juga membuat pelaku usaha ritel ekstra waspada.
Setelah mencatat deflasi 0,48 persen pada Februari, inflasi bulanan (month to month/MoM) Maret 2025 melonjak signifikan hingga 1,79 persen, dipicu oleh tingginya harga bahan pangan selama Ramadan serta penghapusan diskon listrik prabayar. Dolansir dari kompas.com Senin, (7/4/2025).
“Tanpa diskon listrik, inflasi tahunan bahkan bisa menyentuh 1,86 persen, ini sinyal kuat bahwa tekanan terhadap ekonomi rumah tangga masih berlangsung,” ujar David Sumual, Kepala Ekonom BCA, Minggu (6/4/2025).
Meski beras mulai turun harga, komoditas lain seperti bawang merah justru melonjak tajam, menyumbang besar pada inflasi pangan. Hal ini memperkuat tekanan terhadap masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.
“Harga pangan kembali naik dibanding Februari, terutama bawang merah. Ini jadi pemicu utama lonjakan inflasi bulan Maret,” jelas David.
Lonjakan harga yang terjadi selama bulan puasa dan Idulfitri kini mulai terasa efek jangka pendeknya. Banyak konsumen menahan belanja karena sisa pengeluaran besar selama Lebaran. Pelaku usaha ritel pun mengeluhkan penurunan trafik belanja pasca-libur panjang.
Inflasi inti juga tercatat naik 0,25 persen MoM atau 2,50 persen YoY. Kenaikan ini disebabkan naiknya harga barang-barang non-pangan seperti emas, dan menjadi sinyal bahwa tekanan inflasi belum akan cepat mereda.
Lonjakan inflasi ini menjadi alarm bagi pemerintah dan pelaku pasar. Bila tak segera dikendalikan, inflasi pasca-Lebaran bisa berdampak panjang terhadap konsumsi, pertumbuhan sektor ritel, dan kestabilan ekonomi domestik.
“Inflasi bukan lagi isu musiman. Ini jadi indikator kuat bahwa banyak rumah tangga kini makin rentan terhadap gejolak harga,” tutup Kepala Ekonom BCA itu. (Ivan)