SURABAYA, PustakaJC.co - Wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) dipilih DPRD yang diusulkan Presiden Prabowo Subianto, menuai pro dan kontra. Surokim Abdussalam, Wakil Rektor III sekaligus dosen komunikasi politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM), menilai wacana tersebut ibarat mencari tikus, Rumahnya yang dibakar.
Surokim menyatakan tidak setuju terhadap wacana tersebut dalam wawancara eksklusif dengan PustakaJC.co, Senin (16/12/24) lalu.
Ia berpendapat bahwa mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD merupakan langkah mundur (setback) dan ahistoris, mengingat Pilkada langsung merupakan salah satu amanah reformasi.
Dalam wawancaranya, dosen komunikasi politik itu mengakui adanya kelemahan dalam pengelolaan Pilkada langsung, khususnya terkait pembiayaan yang mahal. Namun, menurutnya, masalah ini bukan berarti harus mengganti sistem pemilihan, melainkan memperbaiki tata kelola anggaran.
"Jika sumber masalahnya ada pada pengelolaan, maka bukan sistemnya yang harus diganti, tetapi perbaikannya bagaimana agar tidak high cost dan memboroskan anggaran Negara." jelasnya.
Surokim menekankan pentingnya Pilkada langsung sebagai sarana edukasi dan partisipasi publik dalam politik. Ia khawatir jika Pilkada kembali dipilih DPRD, akan lebih banyak mudaratnya, mengingat pengalaman masa lalu yang banyak memiliki "dark zone" yang sulit diakses publik.
Risiko terbesar jika kepala daerah dipilih DPRD, menurut Surokim, adalah penguatan oligarki dan praktik politik yang tidak transparan.
Sebagai solusi, Surokim menyarankan perbaikan di semua aspek Pilkada langsung, terutama dalam hal efisiensi anggaran. Ia menekankan bahwa perbaikan ini bukan hanya tanggung jawab satu pihak, melainkan menjadi tugas bersama semua elemen yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu.
"Perbaikan harus dilakukan di semua aspek pilkada langsung, agar tidak memboroskan uang negara.” kata Dosen komunikasi politik itu.
Lebih lanjut, Surokim juga mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam mewacanakan perubahan sistem pemilihan kepala daerah.
Ia menekankan bahwa perubahan semacam itu dapat menimbulkan resistensi di kalangan masyarakat, yang selama ini telah terbiasa dengan mekanisme Pilkada langsung.
Surokim memperingatkan bahwa keputusan yang diambil tanpa mempertimbangkan masukan dan aspirasi publik dapat berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
"Pemerintah sekali lagi harus hati-hati mewacanakan hal ini, karena akan punya dampak serius dan resistensi di kalangan masyarakat," tegas Surokim. (nov)