SURABAYA, PustakaJC.co - Tradisi Ganjuran yang selama ini masyarakat kenal sebagai lamaran dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki, ternyata memiliki makna dan filosofi yang sangat mendalam bagi pemerhati budaya daerah. Berikut makna tradisi ganjuran menurut KH. Samsul Ma’arif dan KH. Aguk Irawan MN dalam wawancara eksklusif PustakaJC.co.
Oleh: Intan Permata dan Noviana Putri
Tradisi Ganjuran, dimana lamaran dilakukan oleh calon pengantin perempuan kepada pihak calon pengantin laki-laki, dalam adat pernikahan di Kabupaten Lamongan, mulai bergeser. Seiring perkembangan budaya kota yang memasuki pedesaan. Fenomena ini diungkap KH. Samsul Ma’arif saat ditemui beberapa waktu lalu.
KH. Samsul Ma’arif menjelaskan bahwa tradisi perempuan yang melamar laki-laki ini dulunya sangat berkaitan dengan kehidupan agraris. Pada masa itu, masyarakat Lamongan sangat bergantung pada sektor pertanian.
Kriteria menantu ideal pada saat itu adalah seseorang yang rajin bekerja di sawah, memiliki gerobak sapi, dan mampu membantu pekerjaan di kebun. Dalam konteks ini, perempuan melamar laki-laki untuk mendapatkan seorang pasangan yang dapat membantu pekerjaan tersebut.
“Masyarakat Lamongan dulu itu cari menantu itu adalah garis miring, maksudnya cari orang yang bisa membantu pekerjaan dan kesibukan dia di sawah dan kebun” kata Pemangku Yayasan Tarbiyatus Shibyan ini.

Namun, pergeseran budaya mulai terjadi seiring dengan perubahan zaman. Menurut KH. Samsul Maarif Pergeseran itu terjadi akibat transformasi budaya, yang dipengaruhi oleh masuknya budaya perkotaan. Seiring dengan modernisasi, kehidupan di kota-kota besar mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap pernikahan.
Alat-alat pertanian tradisional seperti gerobak sapi mulai ditinggalkan, digantikan dengan alat-alat modern. Pekerjaan di sawahpun bukan lagi menjadi kegiatan utama. Beberapa masyarakat mulai mencoba matapencaharian baru, imbas dari budaya kota yang masuk ke desa-desa. Dengan berkurangnya ketergantungan pada sektor pertanian, kriteria untuk memilih pasangan pun berubah.
Di sisi lain, seiring dengan semakin banyaknya generasi muda yang terdidik dan lebih mengenal budaya kota, pola pernikahan pun mulai beralih. Laki-laki kini lebih banyak yang mengambil inisiatif untuk melamar perempuan, yang sebelumnya adalah kewajiban perempuan.
“Sekarang, laki laki yang melamar perempuan dan memang itu sebenarnya yang dianjurkan. Karena laki laki itu harus kuat, orang yang harus menanggung semua beban keluarga, maka dia yang harus melamar.” Jelas laki-laki yang tinggal di Wotan, Gresik ini.
Pergeseran budaya ini juga berkaitan dengan perubahan nilai sosial yang lebih luas. Dulu, tanggung jawab sosial dan ekonomi lebih banyak diemban oleh keluarga perempuan, karena mereka lebih terlibat dalam kehidupan pertanian. Namun, seiring dengan meningkatnya pendidikan dan peluang kerja di luar pertanian, pandangan ini berubah. Kini, laki-laki lebih dianggap sebagai pihak yang seharusnya mengambil langkah pertama dalam sebuah hubungan pernikahan.
"Sekarang itu karena kemudian dunia pertanian sudah tidak seperti dulu lagi, alat angkut untuk pertanian juga sudah tidak lagi menggunakan gerobak sapi, masyarakat sudah kuliahan semuanya, sudah mengenal budaya kota semuanya." ujarnya.
Di akhir wawancara, KH. Maa’rif menegaskan, tradisi Ganjuran yang mengharuskan perempuan melamar laki-laki kini semakin jarang dilakukan, perubahan ini mencerminkan adaptasi masyarakat Lamongan terhadap dinamika zaman. Pergeseran budaya ini menunjukkan bagaimana masyarakat merespons perubahan sosial, ekonomi, dan pendidikan yang terjadi, menjadikan kebiasaan-kebiasaan lama sebagai bagian dari sejarah budaya yang terus berkembang.
Sementara itu, KH. Aguk Irawan MN, Pendiri dan Pengurus Pesantren Kreatif Baitul Kilmah di Pajangan Yogyakarta ini mengungkap bahwa tradisi ganjuran memiliki arti mengistimewakan. Ganjur sendiri memiliki makna istimewa dan ganjuran berarti mengistimewakan. Hal ini berarti, ganjuran ini adalah bentuk penghormatan dan pengistimewaan pihak laki-laki oleh pihak perempuan sebelum adanya pernikahan. Jadi, pihak perempuan datang atau mengganjur dengan membawa beraneka jenis hadiah dan oleh-oleh, baik berupa barang dan berbagai macam makanan sebagai bentuk penghargaan kepada laki-laki yang nantinya akan menjadi suaminya.
Nah, dalam konsep ini, mengapa yang diganjur adalah laki-laki. Penulis buku Haji Backpacker ini menjelaskan, hal ini dikarenakan ketika laki-laki telah sepakat untuk menikahi perempuan, maka tanggung jawab atas perempuan tersebut berpindah dari ayahnya kepada dirinya. Dan inilah yang harus dihargai, laki-laki yang tidak ada hubungan apapun harus mengambil alih tanggung jawab atas perempuan yang dinikahinya.
“Jadi, dapat dipahami jika ganjuran ini mengistimewakan, bukan melamar seperti pemahaman umum selama ini,” kata Pengurus Lesbumi PWNU 2005-2017 ini.
Lebih lanjut, budayawan yang menetap di Yogyakarta ini menjelaskan, ganjuran dilakukan setelah adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Ganjuran berbeda dengan lamaran yang meminta ataupun khitbah dalam Islam yang berarti mengikat. Dalam prosesi ganjuran, tidak ada kata lamaran dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Pembicaraan yang dilakukan dalam ganjuran biasanya adalah saling memperkenalkan keluarga besar kedua belah pihak, selain tentu saja membahas kelanjutan hubungan menuju pernikahan.
“Nah, setelah perempuan datang mengganjur, pihak laki-laki membalasnya dengan datang ke pihak perempuan. Ini disebut mbales ganjur,” teran laki-laki yang pernah menjadi Ketua Bidang Pengembangan Organisasi PCINU Mesir tahun 2001.
Masih menurut Aguk, laki-laki Lamongan ini pada dasarnya memiliki gengsi yang sangat tinggi. Maka ketika membalas ganjur dan calon istrinya, mereka akan memberikan yang lebih, baik dari segi jumlah maupun segi kualitas. Ini sebagai bentuk terima kasih karena telah yakin dan menghargainya sebagai calon suami.

Ketika ditanya bagaimana tradisi ganjuran di era modern ini. Dengan tegas laki-laki berdarah asli Lamongan ini mengatakan bahwa ganjuran ini harus terus dilestarikan karena merupakan sebuah tradisi yang sarat makna.
“Tidak ada kata perkembangan zaman sekarang laki-laki yang melamar, dari dulu juga konsepnya memang laki-laki yang harus melamar. Tapi, ganjuran ini bukanlah lamaran. Saya kembali tegaskan, bukan lamaran” tutupnya.